Jumat, 29 Oktober 2010

Sukab Pensiun


Sukab Pensiun

Pagi-pagi benar Sukab ke kantor. Di usia 65 tahun harusnya dia sudah pensiun. Tapi apa boleh buat dia sangat mencintai pekerjaannya sebagai wartawan. Untung saja istrinya mengerti benar wartawan itu profesi yang aneh, di mana rasa penasaran dan logika diaduk menjadi satu. Hidup dikejar-kejar tenggat, dan selalu memikirkan hajat hidup orang banyak. Heroik tapi juga menyedihkan. Apalagi di negeri Sukab, gaji wartawan tak besar-besar amat.

“Kalau mau kaya jangan jadi wartawan, jadi pengusaha saja,” begitu kata bapaknya Sukab, sewaktu Sukab masih menjadi wartawan magang. Sukab sudah terbiasa, sehari tidur paling 4 jam. Pagi ini dia masuk pagi karena ingin memberi penugasan kepada wartawan yang ngepos di istana, untuk meliput hari pertama di periode kedua pemerintahan Manikmaya.

-----

Ruang rapat masih kosong. Hanya ada secangkir kopi di meja di mana Sukab biasa memimpin rapat. Dia buka notebook, mengetik TOR[1] dengan beberapa angle yang mesti ditulis reporternya nanti. “Jo, kopinya kemanisan,” teriak Sukab.

“Maaf Pak, apa perlu saya ganti,” timpal Joko dari balik pintu.

“Nggak usah, bikin aja satu lagi taruh di ruangan saya. Kasih krim ya, gulanya sedikit!”

“Iya Pak. Beres”.

Orang yang pertama kali masuk ruang rapat adalah Killmus. Dia malu-malu, pelan-pelan membuka pintu. Makhluk yang satu ini bagi Killmus adalah manusia setengah dewa. Bikin sungkan, meski suka bercanda. Bagi Killmus, Sukab adalah guru juga idola. Memang dari tangan Sukab banyak lahir para pemimpin redaksi dan wartawan-wartawan handal yang bekerja hampir di seluruh media massa ternama di kota J. Bahkan kalau Killmus liputan ke kota S, nama Sukab sudah akrab di telinga para seniman, politisi, dan dosen. Makanya Killmus sungkan minta ampun.

Killmus mengambil kursi untuk reporter, yang biasanya berderet-deret kayak meja kampus. Sementara para senior; redaktur, redaktur pelaksana, redaktur eksekutif, berada di sekitar Sukab. Di meja besar. Di belakang Sukab terdapat layar proyektor dan televisi 49 inchi.

“Kamu siapa?”

“Saya Muklis, wartawan magang. Oh kamu yang dijuluki Killmus itu. Sampai mana laporan investigasi soal pemogokan buruh?”

“Sudah sampai di Mas Kartono, Pak, laporannya,” kata Killmus canggung.

“Kata Kartono laporanmu detil, kayak cerita konspirasi. Yakin itu nggak ngarang?”

Killmus agak tersinggung.

“Bapak boleh ngecek, sumbernya”. Killmus mengeluarkan ponsel – yang isi pulsanya nyaris habis.

“Oke-oke, jangan ambil serius”.

Killmus bernafas lega. Bayangkan kalau pulsa seuprit itu dipakai, pasti terputus dan yang pasti memalukan. Killmus sejenak teringat Bimo, anak muda tajir itulah yang membuat laporannya gamblang. Labirin misteri dan informasi yang simpang siur berkelindan menjadi terurai dan terang benderang. Banyak perusahaan garmen bangkrut, karena Keluarga Astina yang kartel tekstil itu, tak kuat menahan gempuran produk dari negeri Cina yang berharga murah.

Pintu dibuka lebar dari luar. Mas Kartono masuk, diikuti Mbak Aneke, Mas Supri, Mas Jito,dan para redaktur lainnya. Mata Killmus tertuju ke Mbak Dewi yang masuk belakangan. Gadis seksi dengan kemeja putih yang terbuka memperlihatkan dada yang bagus. Dia redaktur magang wanita, paling cerdas juga paling liar. Killmus suka itu. Dewi melihat Killmus lalu tersenyum. Pembuluh darah Killmus serasa dialiri kafein. Pagi menjadi begitu indah.

“Ayo Kar dibuka. Nunggu Rusdi Mas,” kata Kartono. Pintu terbuka lagi, tapi yang masuk bukan Rusdi, tapi Geni, wartawan yang baru diangkat. Anaknya nekat, rambutnya gondrong. Ada tato Che Guevara di betisnya, lengannya penuh tatop juga, makanya sering ditutup pakai deker hitam. Ini anak pantas jadi musisi metal timbang wartawan.

Geni mengambil tempat duduk di samping Killmus, sambil menyeringai, “Apa kabar Cuk?” kata Geni. Killmus tersenyum. Sialan ini anak, semalam hampir membuatnya teler dan tidur di jalanan, sekarang menyapa apa kabar. Rusdi masuk tergesa-gesa. Rambutnya yang panjang masih basah.

“Ayo mulai rapat,” kata Sukab. Semua diam. “Hari ini hari pertama Manikmaya bertugas. Kabarnya aka nada ramah tamah dengan wartawan, siapa yang ngepos di istana?”

“Aryo,” jawab Kartono, “tapi Aryo itu tak begitu bagus membuat feature[2]”.

“Biarkan Aryo tetap bertugas, kirim Geni, untuk reportase. Sedangkan kamu Kar bikin wawancara eksklusif dengan Manikmaya. Kita buat liputan khusus. Soalnya pada masa pemerintahan pertama, Aku mencium banyak konspirasi, dari berbagai tender proyek nasional didanai asing di negeri ini yang dimenangi terus Astina, dan matinya Pandu, yang membuat Grup Astina dikuasai anak-anak saudara Pandu, yang tak berhak memegang kendali perusahaan. Aku dengar Grup Astina sangat dekat dengan istana kepresidenan. Juga aku dengar kabar ada kredit macet untuk membiayai kampanye pemenangan Manikmaya. Kamu bisa bertanya soal ini ke Manikmaya, terutama apa yang harus dia lakukan untuk lima tahun ke depan”.

Kartono manggut-manggut mendengar cerita Sukab. Grup Astina memang sedang menjadi laporan investigatif. Tiga bulan lamanya naskah mengendap di komputer Kartono dan Rusdi; dua jagoan laporan invetigasi. Rencananya, kalau bukti sudah terang benderang, akan diterbitkan. Majalah Sukab, menunggunya sampai usai Pemilu, tapi bukti-bukti masih mengarah. Belum klik.

Rapat diteruskan dengan laporan para redaktur desk[3], dan rencana foto, desain sampul, disusul guyon gaya wartawan. Tiba-tiba Sukab berdiri.

“Kawan-kawan. Ini pemberitahuan dari Departemen SDM, kurang sebulan lagi aku berhak pensiun. Rasanya aku memang belum berbuat banyak untuk dunia kewartawanan, apa boleh buat, semua harus dibatasi usia. Semoga apa yang sudah kulakukan untuk majalah kita diteruskan oleh generasi yang akan datang. Jurnalistik adalah pekerjaan mulia, dia adalah pelita ketika negara mengalami kegelapan. Dia juga mampu membuat masyarakat menjadi aman, bukan hanya tahu sedang dilanda apa negeri kita, tapi untuk mengetahui haknya, dan juga tahu kewajibannya. Maka bekerjalah untuk pembaca, ikuti hati nuranimu. Jangan pernah mau disuap, karena bukan hanya institusi kita yang buruk namanya, tapi pembaca tak akan memperoleh kebenaran”.

Semua terdiam dan bertanya-tanya dalam hati. Sukab pensiun? Semua gelisah. Pak Tua ini bukan sekadar wartawan senior tapi seseorang yang memikat, bijak, cerdas, tapi juga naïf. Suka mentraktir anak buahnya yang tak punya duit. Pastinya seluruh kantor akan kehilangan sukab. Dari office boy sampai sopir kantor. Sukab pensiun?


[1] TOR atau term of referece adalah semacam referensi yang diberikan redaktur kepada reporter. Biasanya berisi latar belakang masalah, angle, siapa yang harus diwawancarai dan beberapa pertanyaan penting. Juga di dalamnya ada rencana foto.

[2] Feature, dalam berbagai buku jurnalistik, feature adalah karangan khas yang ditulis bergaya sastra. Muncul di tahun 1930-an karena berita televisi dan radio begitu masif, maka para redaktur koran dan majalah berusaha “mengawetkan” berita dengan cara menulis dengan gaya sastra, dengan pendalaman berita (indepth) dan banyak cerita mengenai human interest.

[3] Redaktur desk adalah redaktur yang membawahi satu bidang liputan, misalnya desk olahraga, politik, ekonomi bisnis, hukum, agama, dll.

Foto : yalibnan.com

Senin, 25 Oktober 2010

Buruh yang Mengamuk


Di sudut Jakarta. Bimo sedang mengangkat satu kakinya di kursi kayu panjang. Dia sedang menandaskan nasi dengan sayur asam berlauk tempe dan ayam goreng. Keringat bercucuran membasahi dahinya. Satu piring kosong, dengan menu serupa, sudah tandas lima menit yang lalu. Sesekali Bimo mengelap keringat yang mulai mengganggu.

Killmus, pemuda Jepara semester akhir sebuah perguruan tinggi, mengamati Bimo dengan jakun naik turun, membayangkan betapa nikmatnya kudapan yang dinikmati Bimo. Sesekali Killmus menelan ludah.

-----

Perjumpaan Killmus dengan Bimo memang tak terduga. Killmus bekerja untuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengurusi persoalan buruh, suatu siang di hari Sabtu, Killmus mendapati lelaki tegap setinggi 185 cm, seperti karung kosong, lemas dan tak bertenaga. Bersandar di pagar gerbang kawasan industri. Killmus mengira anak muda itu salah satu buruh yang mungkin saja sedang sial, lantaran ditinggal kabur majikannya tanpa pesangon, tanpa duit di kantong, dengan tunggakan kredit sepeda motor yang kurang sekian bulan. Pemandangan seperti itu sudah biasa di kawasan industri.

Sudah 3 bulan Kilmus akrab dengan lingkungan buruh. Dia magang di sebuah majalah ternama di kota J, selain bekerja untuk sebuah LSM. Dia menikmati hiruk pikuk di bawah matahari terbit, ketika puluhan ribu pria dan wanita berbondong-bondong keluar dari kamar-kamar kos yang sumpek.

Para wanita bersolek secantik mungkin beraroma parfum murah yang menyengat. Mendatangi mobil-mobil omprengan yang menanti di depan gerbang. Biasanya mobil itu diisi hingga penuh sesak, melebihi kapasitas. Ketika mobil omprengan itu berhenti, para buruh menuju penjaja nasi. Mereka sarapan pagi tepat di depan pintu masuk kompleks pabrik garmen. Ada banyak penjaja makanan murah di situ.

Kalau matahari agak tinggi, maka bermacam-macamlah kegiatan penghuninya. Mereka tekun menggunting bahan, lalu mengopernya ke bagian jahit, pakaian yang sudah setengah jadi itu dikirim lagi ke bagaian pemasangan kancing, sampai terus ke bagian pengemasan. Seperti robot yang bekerja dengan perhitungan waktu ketat. Bahkan ke toilet juga pakai menit. Sementara pabrik yang di sebelahnya, buruhnya sama sekali tak bekerja. Duduk-duduk di depan gudang menanti kawan-kawan mereka yang lain. Bersiap melakukan demo lantaran pemiliknya melarikan diri, setelah usahanya hampir bangkrut.

-----

“Kau tampaknya butuh bantuan teman?” sapa Killmus. Bimo tersenyum ramah. Keduanya berjabat tangan. Tangan Bimo yang berotot itu terasa lunglai.

“Bimo,” ujar pemuda itu memperkenalkan diri. Dengan tenaga yang tersisa dia jabat erat tangan Killmus.

“Wah asiknya, kita ngobrol di warung itu, mungkin masalahmu bisa kubantu”.

Ajakan Killmus disambut dengan harap oleh Bimo. “Ayo kawan silakan pesan makan atau minum,” kata Killmus. Uang di kantong Killmus sebenarnya tak seberapa banyak. Lima hari lagi, dia akan gajian. Di kantongnya hanya ada uang yang cukup untuk lima hari itu. Kiriman bapaknya di kampung hanya cukup untuk bayar kos, soal kuliah dan biaya hidup di kota J yang mahal, bisa diantisipasi dengan gaji dari LSM dan menjadi wartawan freelance.

“Beri kami dua es teh manis, Kau pesan apa Bim?”

“Ya teh manis, dan nasi campur.” Sampai detik itu, Killmus masih mengira belum ada bahaya yang mengancam kantong. Hingga pada suap terakhir Bimo dengan santai memesan porsi yang kedua. “Tambah lagi!” kata Bimo. Dan Killmus gelisah luar biasa saat Bimo memesan porsi yang keempat.

“Oke teman, apa masalahmu, mungkin aku bisa membantumu.”

“Ah, soal perut kawan. Sejak pagi perutku belum terisi.” Bimo tertawa.

“Sialan, kupikir kamu buruh yang sedang dipecat!”

“Mengapa dipecat?”

“Ah Kau. Memangnya Kau ini siapa, darimana?”

“Aku minggat dari rumah. Ternyata menyenangkan. Ada banyak hal dalam sehari ini yang kudapati di luar rumah.” Bimo meminum tandas es teh manis yang ketiga.

“Memangnya kau tinggal di mana?”

“Ah sudahlah, percuma aku cerita apa-apa yang bukan rumahku lagi,” ketus Bimo.

Killmus mulai berpikir kawan barunya ini anak orang kaya yang sedang minggat dari rumah. Sejak pertemuan itu, mereka kian akrab. Killmus kerap membawa Bimo main ke LSM atau bergaul dengan buruh pabrik di kawasan industri. Bimo baik, ramah, juga pandai bergaul. Hanya saja Killmus tak tahan dengan selera makannya yang luar biasa.

-----

Di warung Tegal, di mana Bimo dengan santai mengangkat satu kakinya itu. Killmus gelisah, persoalan klasik menderanya lagi. Biasalah tiap akhir bulan, kantongnya tak pernah surplus.

“Bim sudahlah makanmu itu. Kau tak melihat perutmu kian membesar.”

“Yah, tenang Kawan. Kali ini Kau tak usah membayar. Aku punya cukup banyak uang.”

Bimo memang tidak tambum, tubuhnya tegap berisi meski tak sekekar binaragawan. Jadi porsi empat piring sekali makan memang layak.

“Bagaimana soal buruh tekstil yang mogok kerja kemarin?” Bimo melirik dengan sorot menginterogasi Killmus.

“Oh ya, mereka menuntut PT Silk International membayar gaji mereka yang tertunda tiga bulan.”

“Dibayar?”

“Belum,” jawab Killmus dengan pasrah seolah dirinya bernasib seperti para buruh tadi.

“Kau tahu siapa Silk International itu? Itu perusahaan dari Korea. Tapi pemiliknya bukan orang Korea, sahamnya dimiliki oleh konsorsium Astina di sana,” kata Bimo berapi-api.

“Hah!”

“Makanya, aku harus membela mereka. Bukan begini caranya memperlakukan buruh kontrak dengan pendidikan rendah. Apakah kalau produksi mahal dan majikan tak mampu lagi membayar, lalu hubungan kerja diputus semena-mena. Kalau perusahaan untung, buruh juga tak diperhatikan. Gaji tetap rendah. Bahkan ke WC juga harus diatur memakai kartu, dibatasi waktu ke kamar kecil, agar produksi efisien dan meningkat dengan memaksimalkan jam kerja buruh.”

“Payahnya di negeri ini, buruh tak tahu hak mereka. Makanya mereka harus memperoleh pendidikan yang bagus.”

“Aku sepakat, tapi jangan diajak menempuh jalur kekerasan untuk memperoleh hak mereka. Yang terpenting mereka bisa mengerti aturan, paham hak mereka, juga mampu bernegoisasi dengan majikan, timpal Bimo sembari menyeruput es teh manis.

“Kapan mereka mulai demonstrasi?”

“Siang ini, pukul 2.”

“Lalu tunggu apalagi kawan, kita harus membantu mereka”. Bimo segera membayar lalu meninggalkan warung dengan tergesa-gesa. Killmus heran, tak biasa kawannya ini membayar. Seminggu penuh, biasanya Killmus yang membayar makan Bimo, dengan porsi hebat itu. Tapi sejak sehari menghilang, Bimo kembali dengan wajah seperti pegawai yang menerima bonus besar.

Dengan bergegas Bimo memacu BMW X6 hitam miliknya. Killmus masih belum habis pikir di mana kawan barunya ini memperoleh kendaraan hebat nan mahal. Padahal sebulan lalu, Bimo masih bertampang lusuh, seperti gelandangan yang kehabisan darah. Bimo menggeber gas, menuju pinggiran kota, ke kawasan industri.

-----

Bajo, pimpinan demonstran berwajah merah padam siang itu. Sesekali dia mendengus. Di kepalanya melayang-layang cicilan sepeda motor yang tiga bulan belum lunas. Susu anaknya yang belum dia belikan sejak dua minggu lalu. Juga si sulung yang akan masuk taman kanak-kanak butuh uang pendaftaran.

Saat Bimo membuka pintu mobil. Tangan Bajo sudah terkepal garang. Lalu menatap Bimo dengan marah.

“Kau! Berikan gaji kami!” Bajo meradang, ketika Bimo mendatangi kerumunan. Saat Bajo melayangkan hantamannya, Bimo memalingkan tubuh ke sisi kiri. Hantaman Bajo menabrak udara kosong, lalu Bimo menangkap tangan kanan Bajo. Tangan kiri Bajo hendak meninju Bimo, sekali lagi Bimo memiringkan tubuh dan berhasil menangkap tangan Bajo. Kini dua tangan itu ditangkap dalam posisi bersilang. Bimo menghempaskan tubuh Bajo, dan tubuh itu terdorong lalu terjungkal ke belakang. Bajo berdiri lagi, menantang.

“Stop Jo, tenang Jo, ini kawan kita!”

Keduanya saling tatap. Bimo tersenyum ramah, “Maaf kawan.” Amarah Bajo meredup.

Bimo bergegas kea rah kerumunan demoonstran. “Bim, tunggu,” kata Killmus sembari berlari-lari kecil, mengikuti Bimo.

“Aku ingin menghajar pemilik pabrik,” kata Bimo.

Killmus berpikir cepat, dia tak ingin aksi damai ini menjadi ricuh.

Penjaga pabrik itu berdiri mematung. Beberapa di antara meraka membawa pentungan dan perisai fiberglass. Melihat Bimo, mereka siaga.

“Pak tolong, di mana Lee?” kata Bimo.

“Lee siapa?”

“Lee Dong Kwan.”

“Tidak ada!”

“Aku tahu dia masih di dalam, itu mobilnya!”

“Tidak ada!”

Bimo mulai tak bisa menahan diri. Dia dorong perisai penjaga itu. Merasa terdorong dengan keras, para penjaga itu pasang kuda-kuda merangsek maju. Bimo mendorong lebih kuat. Kedua penjaga terjengkang. Kawan-kawannya berdatangan. Satu peleton satpam itu mendesak Bimo. Lama-lama mengepung. Ada yang meninju, menendang, menyodok.

Bimo meski kuat kalang kabut juga dikeroyok 30 satpam. Bajo dan Killmus segera turun tangan. Terjadilah perkelahian. Buruh yang lain mulai tak sabar dan turun membantu. Satpam-satpam itu mundur setelah sepatu, botol air minum, batu beterbangan ke arah mereka. Bimo ada di barisan depan, paling nekat.

“Mana Lee!!!” Bimo mengambil pentungan kayu, dan melemparnya ke jendela. Di lantai 2 pabrik garmen. Lee berdiri gemetar. Tapi dia harus menghadapi para demonstran itu. Selangkah demi selangkah dia memberanikan diri menuruni anak tangga, menjumpai Bimo yang marah di luar sana.

“Anda Lee?”

“Benar.”

“Tiga bulan gaji mereka belum juga dibayar, Anda tahu itu?”

“Kami bangkrut, tak ada uang buat membayar para karyawan.”

“Tapi mengapa untuk membayar pengamanan Anda bisa?”

“Bukankah kendaraan operasional dan mesin bisa dijual untuk membayar buruh? Atau Anda setelah menjual semuanya akan lari?”

“Bukan begitu?”

“Lalu penyelesaiannya bagaimana?”

“Tunggu sebulan lagi?”

“Sialan!” Bimo mengepalkan jari, tapi tubuh di depannya kelihatan ringkih, meski memiliki seribu akal licik – satu alasan yang cukup membuat Bimo meninju Lee. Tapi Bimo tak juga melakukannya.

“Anda bisa meninggalkan tempat ini, kalau aset perusahaan disita buruh dan perjanjian di atas kertas soal penyerahan aset itu,” Killmus menyela.

“Tidak bisa!” timpal Lee.

Tiba-tiba ponsel Lee berdering. Lalu, hampir bersamaan ponsel Bimo juga berdering.

“Halo kakek Bisma, apa kabar?”

“Kamu di mana?”

“Sedang ada urusan Kek,” sahut Bimo. Untuk urusan ini, dia tak ingin kakeknya cemas, “Oke-oke, aku segera pulang Kek”. Bimo kembali menatap Lee.

Tatap mata Lee mulai kendur. Dia menunduk menghormat.

“Baiklah kalau itu yang Anda kehendaki. Aset pabrik ini bisa menjadi milik para pekerja. Tapi kami ingin jangan asal Anda bagikan, tapi dikelola bersama agar para pekerja memilikinya sebagai modal kerja”.

“Kami akan mengaturnya, kalau Anda mau menyerahkan aset perusahaan,” sahut Killmus, “kami akan membuat manajemen baru, yang terdiri dari para pekerja. Mungkin Bimo bisa membantu urusan manajemen”. Killmus menyeka keringat. Sementara Bimo masih kebingungan. Begitu mudahnya berurusan dengan Lee.

Ketika petang mulai turun. Kerumunan buruh perlahan mulai surut. Mereka mendapat kepastian bahwa besok mereka bisa bekerja kembali. Ada hitam di atas putih soal penyerahan aset pabrik, atas nama para buruh yang diwakili Killmus dan Bimo.

Bimo meninggalkan kerumunan dengan kepala masih penuh tanda Tanya. Siapa Lee dan siapa bosnya.

Foto http://harpymarx.wordpress.com

Kamis, 21 Oktober 2010

Berawal dari Bunyi Klik!

Ini soal perusahaan kecil di bidang grafis. Yang dihuni anak-anak muda dengan kemampuan yang unik. Cita-citanya, Clique dibuat untuk membuat hal-hal inovatif dalam hal desain di Surabaya.

Nama clique dipilih, lantaran bunyi ini selalu mendatangkan sesuatu yang tak terduga. Seorang bocah yang mematahkan as mobil plastiknya bisa berbunyi klik, atau pemicu bom juga melahirkan bunyi klik. Meski sekarang semua bertombol digital, bunyi klik bagiku tetaplah luar biasa.

Nah dalam konteks sosiologi Clique berarti berkumpul, berteman, bermasyarakat. Semoga kami bisa membuat sesuatu yang baru di kota kami.