Jumat, 12 November 2010

Pandawa dan Kurawa


Bisma duduk di sofa besar berbalut kulit. Di depannya ada Arya Widura keponakannya, adik Pandu. Sejak kematian Pandu, Bisma menitipkan pengasuhan anak-anak Pandu yang lima orang itu kepada Arya Widura.

Bagi keduanya masa depan Astina adalah segalanya. Maka perhatian mereka tertuju kepada Kurawa dan Pandawa, dua pewaris Astina. Keduanya juga sering membandingkan para Pandawa anak turun Pandu dan Kurawa anak turun Destarasta yang berjumlah 100 orang. Bagi Bisma tak ada yang lebih membanggakan disbanding dengan memiliki keponakan seperti Destarasta, Pandu, dan Arya Widura. Tapi yang mengkhawatirkan justru anak-anak Destarastra, yang mengarak Astina ke jurang kehancuran. Bisma sudah bisa membayangkan apa jadinya Astina di tangan para Kurawa.

“Sudah hampir tengah malam, Bimo belum datang juga”. Wajah tua Bisma tampak gelisah.

“Tenanglah paman, Bimo bukan anak-anak lagi. Lagipula hanya ada satu jalan menuju puncak bukit, Andai dia datang malam ini pastilah kedengaran suara kendaraan yang dia bawa. Jadi jangan cemas. Anak itu memang nyaris membuat huru hara di pabrik garmen. Tapi semua sudah selesai. Lee juga bilang padaku, Bimo langsung pulang begitu semua beres, dan pasti menuju ke sini”.

“Anak turun Pandu dan Destarasta memang berbeda. Satunya sangat merakyat, berpikir untuk rakyat, sementara yang lainnya selalu memikirkan diri sendiri, kesenangan tanpa batas meski menindas yang lain. Manja. Tak pernah memiliki pikiran baik sedikitpun,” Bisma mendengus, lalu menghela napas.

“Kau tahu kan Widura, bagaimana 100 cucuku yang lahir. Mereka menyalahi aturan alam”. Widura mendengarkan. Dia sendiri tak begitu tahu pasti, mengapa kakaknya yang tertua bisa memiliki 100 anak. Yang Arya Widura tebak, mungkinkah 100 keponakannya itu anak-anak adopsi. Destarasta membawa 100 anak balita itu secara tiba-tiba dan memperkenalkan kepadanya, bahwa mereka keponakannya.

Dia yang jauh tak tersentuh. Dia yang Maha Sempurna itu, menciptakan manusia dari setetes sperma, lalu menjadi segumpal darah, menjadi daging, diberi tulang dan ditiupkan kehidupan di dalamnya. Itulah yang dikatakan Muhammad, sebagaimana dikatakan rasul-rasul sebelum Dia.

Tapi teknologi selalu membuat jalan-jalan pintas yang kadangkala mengganggu keseimbangan alam.

-----

Kalau semua bisnis Pandu jatuh ke tangan Destarasta, itu memang keberuntungan yang luar biasa. Destarasta sudah tersisih dari penerus bisnis Basuketi. Ketika Pandu mati mendadak, perwalian atas keluarga dan bisnis Pandu jatuh ke tangannya. Ini bukan lagi durian runtuh tapi kebun durian yang diberikan kepadanya.

Maka dari keuntungan bisnis yang dimiliki Pandu, Destarasta membangun perusahaan DNA Inc, yang bergerak di bidang bioteknologi, rekayasa genetika. DNA Inc membuat produk pangan, komestik, hingga obat. Tapi yang tak banyak diketahui orang ada divisi tersembunyi di DNA, yang memiliki proyek khusus rahasia: menciptakan kloning manusia, untuk keperluan militer. Yang bakal menyuplai tentara unggul, baik dari fisik maupun intelegensia.

Divisi kloning di DNA Inc tak pernah ada dalam struktur perusahaan. Ini proyek rahasia yang langsung ditangani Gandari, istri Drestaratra. Perempuan cantik itu yang menjadi chief executive officer Gen X, untuk program kloning di DNA Inc.

Sebenarnya proyek rahasia ini dibuat untuk meredakan kemarahan Gandari, yang selama 20 tahun menikah belum juga memperoleh keturunan. Dia wanita normal, begitupula suaminya, juga lelaki yang selalu hangat dalam hal bercinta. Tapi ada banyak hal yang membuat Gandari senantiasa ingin marah. Salah satunya karena dia mencintai Pandu, ayah para Pandawa. Tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Pandu lebih memilih Dewi Kunti, dan meminta dirinya untuk bersedia dinikahi Destarasta. Gandari menyanggupi karena dirinya ingin selalu dekat dengan Pandu. Dan waktu berjalan terus.

Rindu dendam Gandari, menciptakan rasa benci yang membuat mata hatinya tak bisa melihat sesuatu yang benar pada keluarga Pandu. Kebahagiaan bagi keluarga Pandu adalah siksa yang menggelisahkan. Dia merasa puas kalau keluarga Pandu tertindas. Gelombang kebencian itu membadai ketika keluarga Pandu dan Destarata berseteru.

Kedua keluarga itu saling berhadapan memperebutkan aset miliaran dolar, yang membentang di lima benua. Siapapun tahu keluarga Pandawa – anak-anak Pandu dan keluarga Kurawa – anak-anak Destarata adalah dinasti keempat dari keturunan Basuketi.[1] Tapi, menurut aturan keluarga Basuketi, hanya anak-anak yang dilahirkan tanpa cacat yang berhak menjalankan bisnis keluarga. Aturan ini membuat Pandu dan anak-anaknya berhak menjalankan bisnis Astina.

Destarata, bukannya tak cakap menjalankan bisnis. Dia memberi bukti kepada ayahnya, Viyasa,[2] bahwa dia mampu. Lalu, dia memburu sekolah bisnis terbaik di seluruh pelosok negara, dan menjadi lulusan terbaik di setiap sekolah bisnis yang dia tuju. Sayang dia buta. ”Apa salahnya orang buta menguasai dunia,” katanya suatu ketika dengan resah kepada Gandari.

”Bisnis bukan sekadar didapat di sekolah terbaik tapi talenta. Ayah tak melihat itu pada dirimu,” kata Viyasa di depan Gandari dan Destarata, ”Kalau anak-anakmu cakap, merekalah yang mengelola Astina. Tapi untuk saat ini biarlah Pandu, adikmu yang meneruskan usaha keluarga ini”. Di luar hujan dan angin seperti mengamuk. Dan Gandari mengingat setiap kata itu dengan jelas.

-----

Tanpa anak, Gandari tak mungkin mewarisi kekayaan keluarga suaminya: kerajaan bisnis bernama Astina. Astina konsorsium raksasa yang menguasai bisnis teknologi informasi, senjata, hingga susu kaleng.

Desember yang dingin, mengantar Gandari ke Montreal. Dia mencari jejak perusahaan bioteknologi. Berita yang dibawa serat optik yang sampai di notebook-nya, menyebut para ilmuwan di perusahaan itu telah berhasil membantu seorang wanita Amerika melahirkan bayi hasil kloning.

Gandari berpikir keras soal kloning. Dia merebahkan kepalanya di sofa, televisi plasma 45 inch yang nempel di tembok tiba-tiba bercerita soal Montreal. CNN melaporkan:

Kerusuhan pecah di Montreal, Kanada. Kerusuhan ini dipicu aksi penembakan oleh polisi terhadap tiga orang remaja pada Sabtu lalu. Seorang di antara korban yang baru berusia 18 tahun tewas di rumah sakit. Hingga kini penyelidikan insiden penembakan tersebut masih berlangsung. Kerusuhan pecah antara demonstran dan polisi anti huru hara, setelah aksi damai berubah menjadi aksi pembakaran. Pengunjuk rasa membakar delapan mobil yang sedang diparkir di luar markas pemadam kebakaran. Pembakaran akhirnya menyebar ke jalan-jalan di Montreal yang menyebabkan terbakarnya tiga buah truk. Pihak berwenang yang menggunakan peralatan lengkap baru dapat menenangkan keadaan Senin (11/8) pagi. Tiga polisi dilaporkan cedera dalam kejadian ini, sementara enam warga ditangkap setelah ketahuan membobol pertokoan serta penyalahgunaan narkoba.

“Halo Respati, apakah di sana aman. Aku akan berangkat besok!” kata Gandari kepada Respati, CEO Prime, salah satu perusahaan properti milik keluarga Drestarata.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Nyonya. Kami menjemput Anda. Pusat kota memang sedang kurang bagus, tapi bukan berarti seluruh Montreal kacau balau,” sahut Steve dari seberang benua.

Tepat tengah malam, roda jet pribadi Gandari berdecit di atas landasan MontrĂ©al–Pierre Elliott Trudeau International Airport. Suhu udara minus antara 2 derajat hingga minus 10 derajat, membuat Gandari merapatkan jaket woolnya. Dia memasang rapat penghangat telinga, yang bentuknya mirip earphone. Segera saja limosin hitam membawanya pergi. Perjalanan dilalui tak begitu cepat, iring-iringan Hummer yang mengawal Gandari harus menyesuaikan ritme buldozer di depan mereka, yang meminggirkan salju, agar iring-iringan itu tak tergelincir.

Desember itu, cuaca di Montreal tak bersahabat. Salju setinggi lutut dan angin dingin yang membawa hujan salju berkesiur kencang. Iring-iringan Gandari dan pengawalnya menyusuri Sungai Saint Lawrence. Konvoi itu lalu memasuki kota tua Montreal. Gedung Notre-Dame de Montréal Basilica tampak dari balik jendela limosin seperti disepuh warna kuning. Lampunya di dalamnya memancarkan rasa hangat. Gedung tua itu berdiri megah dalam tenangnya malam.

Pukul 03.00 Gandari terlelap dengan selimut hangat. Di salah satu ruang president suite Hotel Hilton Montreal Centre-Ville, di pusat kota Montreal.

-----

Kontak yang dibangun dengan perwakilan Astina di Kanada membuat Gandari tak perlu menyusuri lorong gelap untuk menemukan Claude Vorilhon, pendeta sekte agama Raelian.[3] Sewaktu bangun pagi, secarik memo telah ada di meja rias kamarnya. Isinya Claude Vorilhon akan menemuinya.

Pukul 11.00 ketika Gandari menuruni tangga lobi, dia mendapati pendeta tinggi besar dengan garis-garis muka yang tegas itu. “Selamat pagi,” kata Gandari ramah, menjabat uluran tangan Claude Vorilhon. Lalu mereka berbincang tentang Kanada yang dingin, lalu bergeser ke negeri tropis hangat. Claude lalu masuk limosin Gandari, menuju laboratorium rahasia mereka.

Mereka akhirnya sampai di sebuah bangunan berarsitektur serba minimalis berwarna cerah, yang serba bersudut namun tak kaku, lantaran banyak pephonan di sana-sini. Interiornya canggih. Banyak maket gedung ikonik di berbagai kota dunia – mungkin saja belum dibangun. Hiasan dindingnya seputar mobil-mobil tercepat dan pesawat jet, lengkap dengan data teknis. Suara musik techno meletup lembut di seluruh ruangan.

”Kloning adalah jalan menuju keabadian, kami membantu apa yang Anda butuhkan untuk membuat manusia unggul,” kata Claude Vorilhon pelan ke telinga Gandari.

”Juga teknologi sekaligus para ahlinya?”

”Di Clonaid, perusahaanku Nyonya, tak ada yang gratis. Riset kloning mahal. Kami tak pernah mengulangi kegagalan 1996,”[4] Mata Claude memandang Gandari. Dua mata dengan sorot yang tajam itu saling tatap.

“Anda punya bukti?”

“Anda ingin bukti, Nyonya?”

Claude Vorilhon menyibakkan jubah pendeta hitam seperti dari abad Renaissance. Tanggan Claude mempersilahkan Gandari ramah. Mereka terus memasuki ruang demi ruang rumah itu, hingga sampai ke tempat yang paling belakang. Mereka menuruni tangga di beranda belakang. Mengitari setengah kolam renang lalu memasuki gerbang. Banyak penjaga berjas hitam dengan kacamata Oakley memandang sigap ke arah para pengawal Gandari. Suasana tenang tapi tegang karena para pengawal itu, hanya saling pandang tak ramah tanpa bicara.

Gerbang itu mengantar ke lorong yang terang benderang, memanjang. Beberapa pintu terbuka dan tertutup otomatis. Orang-orang berbusana jas laboratorium ke luar masuk, dengan buku catatan yang diletakkan di atas papan tipis berpenjepit kertas.

Mereka sampai di ujung lorong. Sebuah atrium yang luas berlantai dua pada dindingnya. Hilir mudik orang di lantai atas kelihatan jelas, karena dindingnya transparan. Ketika Gandari dan sepuluh pengawalnya memasuki ruang itu, orang-orang di lantai dua menatap ke bawah. Mereka lalu turun dan bergabung dengan rombongan Gandari.

”Nyonya Gandari, inilah Eve! Manusia kloning kami yang pertama! Dan ini ibunya,” kata Claude Vorilhon bersemangat.

Gandari menyalami, seorang wanita cantik bermata biru dengan rambut coklat yang menarik. Gandari lalu melihat bayi, yang sedang tidur di ranjang kecil dengan nyenyak. Anak itu dikelilingi mesin-mesin kedokteran canggih, yang terus memantau bio ritme tubuhnya.

”Nyonya dia bayi terbaik, sehat, dengan kecerdasan Einstein. Dia dibuat dengan genetis terpilih lalu diletakkan pada rahim wanita itu,” kata Claude.

”Hmmm, dia manusia dengan struktur tubuh terbaik, bagaimana soal moralitasnya?”

Claude terdiam. ”Maaf, Nyonya, sejujurnya saya terlalu bersemangat. Sekali lagi maaf itu saya kesampingkan,” kata Claude.

Gandari menghembuskan nafas panjang. Lalu menghirupnya lebih dalam lagi. Hingga dadanya membusung. Di dalam pikiran Gandari saat itu hanyalah bagaimana dia memiliki keturunan yang hebat. Para calon penguasa.

”Baiklah. Aku masih tertarik proyek ini. Anda membuka dengan harga berapa?”

”Teknologiku seharga seratus juta dollar, Anda berhak menawar”.

”Tidak!” ketus Gandari, ”Untuk proyek pribadi, aku tak pernah menawar. Anda mampu membangunnya di Indonesia sesegera mungkin?”

“Baik Nyonya.”

Gandari tersenyum. Ambisinya akan terwujud. Tapi siapa yang tahu jalan hidup dan garis nasib manusia? Dia ingin anak juga kekayaan dan kekuasaan.


[1] Basuketi dalam epos mahabaratha versi wayang purwo, adalah raja kerajaan Wirata. Dari pernikahannya dengan Dewi Yukti, dia memiliki anak Parasara dan Santanu. Santanu menikahi Dewi Gangga dan berputra Bisma, sedangkan Parasara yang menikahi Dewi Durgandini memiliki putra bernama Viyasa atau Wiyasa. Wiyasa menikahi tiga putrid. Dari Dewi Datri berputra Widura, dari Dewi Ambiki berputra Pandu yang menurunkan Pandawa (Yudhistira, Bimo (Bim), Arjuna (Jun), Nakula dan Sadewa. Sedangkan dari Dewi Ambika berputra Destarata yang menjadi bapak para Kurawa (100 anak yang tertua bernama Duryudana).

[2] Viyasa dalam versi India, dalam wayang purwa disebut Wiyasa atau Abiyasa. Dia adalah sepupu Bisma.

[3] Claude Vorilhon mantan jurnalis Perancis yang percaya bahwa manusia merupakan hasil kloning mahluk luar angkasa sekitar 25 ribu tahun lalu. Calude Vorilhon adalah pendeta dari sekte Raelian. Kelompok yang mendapat pengakuan resmi pemerintah negara bagian Quebec, Kanada, sebagai gerakan agama di tahun 1990-an ini mengklaim memiliki 55 ribu anggota di berbagai penjuru dunia, termsuk Amerika. Kelompok ini memilki sebuah taman yang terbuka untuk umum bernama UFOland, dekat Montreal. Calude Vorilhon percaya kloning tahap kedua, adalah teknologi kloning yang mampu menciptakan manusia dalam waktu beberapa jam, namun tidak akan sepenuhnya sama. Pada tahap tiga, teknologi kloning bisa menciptakan kloning lengkap dengan memori dan kepribadian dari seseorang yang dikloning. Arthur Caplan, pakar etika kedokteran Universitas Pennsylvania mengatakan, ia ragu Clonaid sukses menciptakan kloning lewat 10 percobaan. Menurut Caplan, percobaan pada hewan umumnya hanya menciptakan satu keberhasilan dalam 400 percobaan. Menurut Caplan kloning juga sangat berbahaya. Setengah jumlah hewan hasil kloning mati dalam waktu satu tahun, sementara mereka yang bertahan hidup mengalami gangguan kesehatan.

[4] Pada 1995, kelompok ilmuwan di Roslin Institute di Edinburgh yang mencari cara memodifikasi genetic binatang ternak. Setahun kemudian para ilmuwan itu berhasil membuat kloning dari embrio sel milik domba bernama Megan dan Moral. Embrio ini tumbuh beberapa minggu dilaboratorium. Publik tak banyak tahu hasilnya hingga muncullah Doly, domba hasil kloning yang lahir 5 Juli 1996. Domba ini mati setahun kemudian, karena terkena infeksi penyakit. Para ilmuwan di Edinburgh mengatakan, Doly bukanlah mamalia atau biantang yang sesungguhnya, karena terbuat bukan dari pertemuan antara sperma dan indung telur.

Selasa, 02 November 2010

Para Pejabat Istana


Di istana kepresidenan yang teduh, hati Manikmaya berbinar-binar senang. Dua kali dia mampu mempertahankan kursi presiden. Di zaman demokrasi yang aturannya pura-pura ketat ini, dirinya sadar benar tak mungkin menjadi presiden sepanjang masa. Dia sudah belajar dari ambruknya dua presiden terdahulu, lantaran terlalu lama memerintah.

Seperti yang direncanakan protokoler rumah tangga istana, tepat pukul 8 pagi, Manikmaya bakal makan bersama dengan empat orang penting yang sukses mengantarnya memenangi Pemilu.

Soal tampil oke di depan kawan ataupun lawan, Manikmaya jagonya. Latihan pidato di depan cermin, menata mimik, mengatur intonasi suara, semuanya dia pelajari. Ini bukan masalah kepantasan tapi bagaimana citra dibentuk, agar tampak wibawa, mengagumkan, juga tampan, terutama bagi ibu-ibu muda istri para pejabat, pejabat wanita, kalau perlu penari istana bisa kepincut dengannya.

Agenda pagi ini, di hari pertama masa jabatannya yang kedua, dia ingin berbincang-bincang dengan para donator, sekadar berterimakasih dan memberi imbal balik, entah itu tender atau kemudahan-kemudahan lainnya. Manikmaya juga harus menemui dua kakaknya, Catugora dan Ismaya, yang pernah menjadi dua tokoh nasional sekaligus kandidat kuat presiden di masa lampau.

Langkah Manikmaya dibuat semantap mungkin menyusuri koridor istana. Setidaknya, para pengawal istana akan tergetar mendengarnya. Dan pastinya tamu-tamu terpesona tepat ketiku pintu terbuka lebar, diiringi senyumnya yang bijak juga ramah.

Acara jamuan pagi masih sejam lagi. Manikmaya perlu ngobrol sebentar dengan kolega dekat, yang membantunya memenangi Pemilu. Setidaknya, dia bisa minum teh dan makan kudapan kecil, agar nantinya dalam jamuan resmi dia tak tampak rakus alias makan dengan kalap, yang pasti merusak wibawanya. Dengan perut setengah kenyang, Manikmaya ingin menjaga wibawa.

------

Di depan meja yang tak sepenuhnya bulat itu, ada Catugora yang biasa dipanggil Togog, kakak Manikmaya. Kalau sekarang Manikmaya menjadi presiden yang mampu mengatur negara sekehendak hatinya, itu karena peranan Togog. Yang juga tak bisa diabaikan seperti Kresna, Sangkuni, Ismaya.

Manikmaya, yang duduk di ujung meja, seperti kepala keluarga yang menghadapi makan malam keluarga. Semua saling tatap dan tersenyum.

“Terimakasih Ismaya, Catugora, berkat dukungan kalian, Aku terpilih lagi.”

“Sudahlah kita bertiga adalah saudara, apapun yang terjadi,” kata Catugora, Ismaya tersenyum.

“Anda perwakilan Astina, pengganti Pandu?” Mata Manikmaya memandang Sangkuni.

“Benar, Pak presiden. Saya Sangkuni. Sepeninggal Pandu, semua urusan Astina, Saya tangani bersama Destrata, kakak Pandu,” kata Sangkuni ramah.

“Apakah Viyasa mengubah aturan, bahwa pemegang kekuasaan Astina bisa orang, yang maaf, cacat fisik?”

“Pak Presiden, tak ada yang mengubah aturan itu. Untuk itu saya dan Destarastra memegang perwalian anak-anak Pandu, hingga mereka dinilai layak mengendalikan Astina.” Sangkuni bertutur runut dan lancar.

“Aku berteman baik dengan Pandu, dialah donator besar setiap kampanyeku, hingga dia meninggal mendadak di dalam kendaraanku, lalu apa yang kau pinta Sangkuni untuk Astina?”

“Saya pebisnis mungkin juga seorang yang selalu berjudi dengan nasib untuk mendapat keuntungan yang besar. Tapi ada masa saya menginginkan semuanya mudah. Anggap saja Pandu berinvestasi untuk anak-anaknya dan seluruh keturunan Viyasa.” Mata Sangkuni mengkilap-kilap, ada keserakahan yang membara di dalam sorot matanya.

“Kamu ingin kemudahan untuk semua bisnismu?”

“Betul Pak Presiden.”

Hmmm, Pandu memang sobatku tapi Anda bagiku, tetaplah orang asing.”

Mendengar kata-kata Manikmaya, Sangkuni mulai gelisah.

“Pandu pemodal tunggal saat pertama kali aku menjadi presiden. Untuk pemilihan kedua, Astina hanya menyokong separuh dari dana pemenangan Pemilu. Maka aku harus berbuat adil. Ada beberapa pengusaha yang menanggung setengah kampanye. Aku hanya bisa memberi kemudahan, asal bisnismu memang benar-benar bagus.”

“Kalau itu kehendak Pak Presiden, itu sudah lebih dari cukup.”

Beberapa pegawai istana kepresidenan memasuki ruangan. Mereka meletakkan semua hidangan dengan sangat terlatih. Sopan juga cekatan. Tak sampai semenit semua hidangan sudah tertata. “Silahkan Pak Presiden,” kata salah seorang dari mereka. Di atas meja tersedia hidangan laut yang serba rebus, juga sayuran segar. Usia para tamu yang datang membuat Manikmaya memesan masakan serba rebus. Mereka mulai mengudap satu persatu makanan sembari melanjutkan perbincangan.

“Tapi berhati-hatilah Sangkuni, Astina tak bisa memonopoli semua bisnis. Bila itu terjadi ekonomi tak bergerak, bukan itu saja kekayaan kalian memiliki potensi besar menyaingi kekuasaan pemerintah. Aku tahu Astina membayar polisi, membayar Departemen Tenaga Kerja untuk menyelesaikan masalah pemogokan buruh garmen di kawasan industri kota J, dan pengadilan memenangkan kalian, mengabaikan tuntutan buruh yang kalian gaji tak layak itu. Sepeninggal Pandu, kalian menjalankan bisnis dengan mengabaikan hak-hak buruh!” Suara Manikmaya Meninggi.

“Yang Pak Presiden dengar, sebenarnya tidak seperti itu.”

“Kamu mau bukti? Ada Kresna di sampingmu. Kamu tahu bukan, dia kepala kepolisian negara ini dan dia sudah menerima aduan dari bagian pendisiplinan internal kepolisian, bahwa polisi yang memadamkan protes buruh dengan kekerasan, teryata kalian yng membayar.”

Sangkuni mulai merasakan tempat duduknya panas, dan hidangan yang dia santap serasa getir. “Kalau Anda melakukan hal yang tak benar dengan buruh, lalu pengadilan, departemen tenaga kerja, juga kepolisian membela perusahaan Anda, maka hancurlah nama pemerintah, juga Aku!”

“Pak Presiden atas nama Astina saya minta maaf. Tapi Pak Presiden perlu mengetahui bisnis kami kokoh di negeri ini. Bahkan menggurita di lima benua. Kalau kami mempertahankan melakukan produksi di negeri ini, itu hanya soal kesejarahan. Viyasa pendiri Astina lahir di negeri ini. Astina dengan mudah menarik investasi ke negeri lain. Kami, pebisnis tak mengenal nasionalisme dengan begitu baik. Ke mana uang berhembus di situ kami berada,” kata Sengkuni tak kalah berapi-api.

“Hati-hati dengan kata-katamu! Uang memang bisa membeli segalanya, tapi pemerintah tak mungkin ditekuk oleh pengusaha. Aku kecewa dengan Astina, aku berharap pemimpin pengganti Astina sebijak Pandu. Untuk itu Anda tak perlu berlama-lama, Anda sudah tahu bukan pintu keluar,” suara Manikmaya lemah lembut tapi mendesir tajam di hati Sangkuni, yang membuat seluruh tubuhnya ngilu. Sangkuni merasa ingin marah sekaligus merasa dipermalukan luar biasa.

“Baik Pak Presiden, terimakasih atas pertemuan ini. Kami Astina akan berhitung lagi. Selamat malam.

Ruangan kembali hening tapi kali ini serasa lebih ramah. Empat orang yang berada satu meja itu adalah keluarga. Kresna meski bukan sanak saudara ketiga orang itu, namun Manikmaya, telah menganggapnya seperti anak sendiri. Manikmaya memiliki seorang anak bernama Wisnu, yang meninggal dunia di usia remaja. Suatu hari, ketika mengunjungi akademi militer, dia menemukan seorang taruna yang mirip dengan Wisnu, taruna itu Kresna. Parasnya yang tegap, gagah, dengan kulit hitam legam yang menunjukkan sifat perwira mengingatkan dia pada Wisnu. Sejak itu hubungan keduanya menjadi sangat dekat.[1]

Obrolan di meja itu seperti reuni keluarga, namun pelan-pelan bergeser membicangkan Astina.

“Ismaya, Catugora. Kalian mengabdi pada keluarga Astina, juga Kresna sangat akrab dengan anak-anak Pandu, menurut kalian apa yang harus kulakukan dengan Astina?”

“Payah,” sahut Catugora. Wajahnya menegang.

“Mengapa?”

“Sangkuni, Dorna, berinisiatif menyingkirkan mereka, dan rupa-rupanya akan berhasil”.

“Aku harus melakukan sesuatu untuk Astina,” kata Manikmaya kepada tiga tamunya.

-----

Pintu diketuk pelan. Sekretaris Manikmaya yang cantik memberitahu, konferensi pers akan segera dimulai.


Foto : www.acus.org

[1] Dalam cerita pewayangan, Sanghyang Tunggal atau Manikmaya memiliki permaisuri bernama Dewi Umayi. Dari perkawinan keduanya lahirlah Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, Batara Wisnu, dan Batara kala. Batara Wisnu dalam cerita pewayangan menitis pada diri Kresna.