Rabu, 29 Juni 2011

Bintang Merah (Tua) di Langit Nusantara


Malam menghampar pekat. Langit memeluk bulan pucat dengan awan yang berjalan. Dari atas penthouse, jalanan seperti tak hendak tidur. Lampu-lampu mobil yang berlari, membentuk benang berkilat kuning terang. Dari arah sebaliknya, mobil-mobil membentuk cahaya benang merah. Orkestra lampu yang sibuk. Yang hanya berhenti ketika lampu merah atau ketika berhadapan dengan kerumunan orang yang menyeberang di atas zebra cross.

Di tengah-tengah langit, bintang berwarna merah tua, sendirian berpendar-pendar. Orang-orang Yunani kuno menyebut itulah Apolo, sang dewa perang. Tapi itulah Mars yang sedang mendekat ke bumi. Saat itu dini hari. Yudhistira tak bisa tidur, dia baru saja melakukan ritual, berdoa dengan khusuk, tepat ketika semua orang terlelap.

Nafasnya dia atur, agar suasana hening mampu membuatnya tenang. Surat dari Presiden membuatnya terganggu. Lima tahun lalu, dia membangun bank kecil-kecilan yang sehat. Tiba-tiba Pemilu datang. Kedekatan ayahnya dengan penguasa membuat banknya harus menerima aliran dana ratusan persen dari modal bank. Ini bahaya. Tapi apa boleh buat.

Dengan dana segemuk itu bukannya tanpa masalah. Pencairannya selalu ke hal-hal yang ajaib. rumit. Boro-boro untuk pembangunan, biasanya untuk membiayai penguasaan informasi. Dari bikin riset, sampai bikin media massa dadakan alias abal-abal. Yang dibuat untuk mendukung penguasa dengan segala kebijakannya.

"Hati-hati bang," kata Bima mengingatkan.
"Sulit, aku sulit mengelak. Ini karena hubungan dekat ayah dengan orang-orang istana," kata Yudhistira.

Tiba-tiba peringatan Bima melintas. Seperti bintang jatuh yang membelah malam. Telpon berdering.

"Mas, Aku dengar badan pemberantasan korupsi tengah mengendus pencucian uang yang melibatkan bank kita. Kasus pembunuhan direktur Quantum Finance itu pemicunya," kata staf kepercayaan Yudhistira.

"Aku memprediksi, akan ada pengusutan. Yang muaranya mengusut dana. Pembunuhnya, perkiraanku orang-orang di sekitar istana. Katanya si Mojo, direktur ini ingin menyeberang ke partai lain. Ini membahayakan. Makanya dihabisi."

Yudhistira menyimak dengan sabar. Kalau dulu dia ingin menjadi pengusaha yang jauh dari urusan politik, ternyata tak bisa mengelak. Ini persoalan DNA ayahnya, yang membuatnya terus dilirik penguasa. Toh, tanpa menempel penguasa, Yudhistira sadar, dirinya hanya pengusaha yang bisa suatu waktu harus berhadapan dengan penguasa. Rumit. Bila tidak mendekat berurusan dengan birokrasi memusingkan, sebaliknya juga begitu.

Di atas langit, bintang merah tetap berpendar. Konon, begitu keyakinan orang-orang Yunani, bintang merah yang bersinar terang menandakan chaos di mana-mana. Peperangan, kelaparan, dan wabah seperti disebar rata di muka bumi. Yudhistira tersenyum tenang. Dia tahu cepat atau lambat, semuanya akan menjadi runyam.

Senin, 06 Desember 2010

Pesan Singkat


Terry mengenakan baju laboratoriumnya. Di DNA Inc, tempat dia bekerja, semuanya harus serba bersih. Bebas virus dan debu. Perusahaan tempat Terry bekerja bergerak di bidang bioteknologi, rekayasa genetika. DNA Inc membuat produk pangan, komestik, hingga obat. Tapi yang tak pernah Terry tahu, ada divisi tersembunyi di DNA, yang memiliki proyek khusus rahasia: menciptakan kloning manusia, untuk keperluan militer. Yang bakal menyuplai tentara unggul, baik dari fisik maupun intelegensia.

Hari ini Terry masuk kerja dengan perasaan gundah. Pesan pendeknya tak pernah dibalas Geni. Sialan! Dia meresa terlecehkan, terabaikan. Baginya Geni memang memikat, memiliki mata setajam elang, dengan kilap sorot mata yang menunjukkan kecerdasan. Rambut ikalnya sebahu, dengan janggut dan kumis tipis, membuatnya bukan seperti wartawan. Mungkin Geni lebih pas menjadi rock star ketimbang juru berita. Perkenalannya sederhana. Geni mewawancarai Terry soal reaktor nuklir yang dibangun di Tawangmangu, Jawa Tengah. Apakah reaktor yang dibangun DNA Inc memungkinkan peristiwa Chernobyl terulang.

Sebagai lulusan terbaik Massachuset Information Technology (MIT), Terry tahu benar, teknologi yang dipakai pemerintah di Jakarta untuk menanggulangi kelangkaan listrik di Jawa Bali, jauh lebih maju dibanding Chernobyl.

”Anda yakin?” usai mendengar Terry mempresentasikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Tawangmangu.

”Seyakin-yakinnya,” jawab Terry tersenyum. Pengaman reaktor berlapis. Bila tabung stainlees steel itu mengalami kebocoran. Pendingin air akan bereaksi cepat, yang memicu tabung-tabung lain segera memblok kebocoran.

”Bagaimana soal limbah?” tanya Geni mendadak.

Terry terkejut mendengar serangan pertanyaan yang serasa menampar itu. Sekali lagi dia tersenyum, kali ini pipinya yang tirus bersemu merah. Bukan karena kesulitan menjawab. Sejak awal dia menganggumi mata Geni, yang setajam elang itu.

”Kami mengirimnya ke Mars,” jawab Terry.

”Anda gila!”

”Maksud Anda?”

”Proyek pembuangan limbah itu ditangani perusahaan Rusia bukan? Anda tahu klien perusahaan itu bukan hanya Anda. Mars menjadi tempat pembuangan nuklir dunia. Resikonya Anda tahu bukan? Limbah itu akan membunuh Mars!”

Terry terkesiap. Bayangan wawancara berbulan-bulan lalu yang berujung pada debat menyelinap kembali di kepala Terry. Terry tahu, Geni bukanlah wartawan goblok yang mau berdebat, lalu tak memperoleh informasi apapun gara-gara adu argumentasi. Bukankah wawancara yang baik adalah menggali informasi bukan berdebat? Itu kredo dunia jurnalistik.

Lalu, dari wawancara itu mereka kian akrab. Itupun gara-gara mereka saling bertukar kartu nama. Hingga keduanya, pernah mabuk berat, dan terjebak di kamar hotel hingga pagi.

Sekali lagi Terry, berusaha mengirim pesan pendek. Kali ini Geni harus membalas.

-----

Mobil Bentley Continental berhenti, dengan berdecit marah di halaman rumah Wisangka. Biar dikata di dalam mobil sport yang adem, tetap saja berjibaku dengan macet membuat Terry kalap. Apalagi sejak pukul 5 sore sampai di pekarangan rumah, hari sudah gelap, tak satupun ada tanda-tanda Geni membalas pesan pendeknya. Nggak di ponsel, nggak di layar komputer di dalam mobil. Tak ada tanda-tanda dari Geni. Dia seperti hilang ditelan bumi.

Keluar dari mobil, Terry langsung bergegas, Wisangka ayahnya, hanya dilewati dengan senyum tipis.

Wisangka membolak-balik halaman majalah yang dibacanya. Sejak matahari terbenam, dia duduk sendiri di teras rumah yang asri ditemani secangkir cappuccino. Dia membaca wawancara eksklusif Manikmaya di hari pertama jabatannya. Dia membaca melompat-lompat saja, karena dia tahu sesuatu yang rahasia. Tak seorang wartawan pun yang dapat menggapainya.

Anda memenangi Pemilu dengan begitu telak, ada tudingan Anda melakukan politik uang?

Rakyat sudah pinter memilih, kalau ada informasi seperti itu, pastilah datang dari pihak yang tak rela. Ya kalau mencetak kaos, memasang baliho, menyewa soundsystem itu kan pakai dana yang tak sedikit. Kalau begitu semua kontestan melakukan politik uang.

Ada aliran dana yang kami duga mengalir ke rekening kolega Anda saat Pemilu…..

Ketika saya pertama kali menjadi presiden 5 tahun lalu, saya sudah berkomitmen membangun pemerintahan yang bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Pemilu harus jujur makanya saya menunjuk para akademisi idealis yang bebas kepentingan. Kalau benar temuan majalah Anda, saya akan menindaklanjuti. Pemerintahan ini harus bersih, saya memiliki komitmen membangun pemerintahan yang bersih, berwibawa, di mana rakyat adil dan sejahtera.

Hebat Kau Kartono. Wisangka membaca siapa yang mewawancarai Manikmaya. Dia kenal wartawan satu itu, ketika membongkar kasus bank bodong, yang kasnya dibawa kabur pemiliknya, dengan berbagai alasan sehingga dapat bantuan dari pemerintah. Kar, Kau mungkin masih berhubungan dengan banker-bankir yang lain, sehingga Engkau masih mencium ada yang tak beres. Tapi Kau masih sekadar mencium.

Wisangka melanjutkan kembali bacaannya, melompat-lompat. Dia sudah bosan bahasa jargon kampanye.

Lima tahun ke depan apa yang Anda lakukan

Negeri ini karena berada di tangan rezim yang memerintah lama, terjadi korupsi dan pelemahan hukum. Saya akan membangun pemerintahan yang kuat dan memberantas korupsi.

Eh, Bapak Presiden, di mana-mana bagaimana memakmurkan rakyat dulu, pemberantasan korupsi bisa nomor 6 atau nomor 10. Apa nggak belajar dari negeri-negeri lain, yang mendudukkan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama justru, korupsi dipolitisir, hingga saling jatuh menjatuhkan antar sesama pejabat publik. Batin Wisangka. Hukum kuat itu sudah semestinya, yang penting bagaimana rakyat di Kota I bisa semakmur di Kota J, itulah yang dicari pokok persoalannya.

Wisangka menutup majalah, dan melemparnya pelan di atas meja. Seseruput cappuccino, lagi. Dia bangun masuk ke paviliun. Mengemas berkas, memasukkannya ke dalam brankas. Terpikir olehnya menghancurkannya, tapi nanti saja.

-----

“Ayah, tolong kasih tahu Bengbeng, agar tak menelponku lagi. Capek ngurus anak manja,” kata Terry.

“Masak anak manja, dia kan lelaki dewasa, calon pengganti Ayah”.

“Dikit-dikit mengeluh, Aku sudah capek di lab, penelitian belum kelar-kelar masih pula diganggu keluhan-keluhannya”.

Bengbeng, deputi Wisangka di pucuk pimpinan direktur bank. Namanya Bambang, tapi Terry suka memanggilanya Bengbeng, lulusan luar negeri dan anak muda yang cerdas. Pertama bertemu Terry langsung jatuh cinta. Tapi begitulah Terry selalu asik dengan dirinya sendiri. Dengan lab, dengan alam, dengan menjelajah sudut kota, iron woman.

Sejujurnya setelah ketemu Geni, Terry seperti menemukan dunianya. Rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi, dan itu hanya bisa dia peroleh dengan Geni di sampingnya. Maka, dia pun tak lagi memperhatikan Bengbeng.

“Lalu apa yang Kau minta dari Ayah?”

“Bilang aja ke Bengbeng, jangan lagi hubungi Terry”.

“Wah itu urusan dua manusia dewasa, Ayah tak mau mencampurinya”.

“Okay, Terry bisa jadi orang yang paling menyebalkan bagi dirinya, dan Ayah nggak boleh ikut campur”. Terry mencium kening Wisangka.

Di kamar Terry nggak bisa tidur. Buku, musik klasik, apapun yang mampu membuatnya tidur dia coba. Hanya obat tidur yang belum. Geni seperti menari-nari di kepalanya. Sialan. Baginya, Geni adalah satu-satunya lelaki yang mampu menyentuh hatinya, melawan egonya, juga memberi solusi.

Geni tiba-tiba mengusulkan mengapa, Terry nggak berpikir soal panas bumi untuk solusi krisis energi. Wow, ide menarik. Justru yang tak dimengerti oleh Terry dari Geni, adalah bagaimana wartawan bisa ngomong soal teknis, dan berpikir bebas. Terry tahu, teknologi nuklir bagus tapi juga riskan karena limbahnya, namun yang tak disadari orang-orang pintar macam Terry adalah mereka menjadi alat konspirasi global, agar dunia ketiga selalu bergantung pada negara maju. Entah itu teknologi, tenaga ahli, yang sifatnya soal materi bukan kemanusiaan. Jadi energi-energi alternatif selalu dihambat, bila negara-negara dunia ketiga menemukan teknologi yang lebih ramah lingkungan.

Geni semacam pencerahan bagi Terry.

Jumat, 12 November 2010

Pandawa dan Kurawa


Bisma duduk di sofa besar berbalut kulit. Di depannya ada Arya Widura keponakannya, adik Pandu. Sejak kematian Pandu, Bisma menitipkan pengasuhan anak-anak Pandu yang lima orang itu kepada Arya Widura.

Bagi keduanya masa depan Astina adalah segalanya. Maka perhatian mereka tertuju kepada Kurawa dan Pandawa, dua pewaris Astina. Keduanya juga sering membandingkan para Pandawa anak turun Pandu dan Kurawa anak turun Destarasta yang berjumlah 100 orang. Bagi Bisma tak ada yang lebih membanggakan disbanding dengan memiliki keponakan seperti Destarasta, Pandu, dan Arya Widura. Tapi yang mengkhawatirkan justru anak-anak Destarastra, yang mengarak Astina ke jurang kehancuran. Bisma sudah bisa membayangkan apa jadinya Astina di tangan para Kurawa.

“Sudah hampir tengah malam, Bimo belum datang juga”. Wajah tua Bisma tampak gelisah.

“Tenanglah paman, Bimo bukan anak-anak lagi. Lagipula hanya ada satu jalan menuju puncak bukit, Andai dia datang malam ini pastilah kedengaran suara kendaraan yang dia bawa. Jadi jangan cemas. Anak itu memang nyaris membuat huru hara di pabrik garmen. Tapi semua sudah selesai. Lee juga bilang padaku, Bimo langsung pulang begitu semua beres, dan pasti menuju ke sini”.

“Anak turun Pandu dan Destarasta memang berbeda. Satunya sangat merakyat, berpikir untuk rakyat, sementara yang lainnya selalu memikirkan diri sendiri, kesenangan tanpa batas meski menindas yang lain. Manja. Tak pernah memiliki pikiran baik sedikitpun,” Bisma mendengus, lalu menghela napas.

“Kau tahu kan Widura, bagaimana 100 cucuku yang lahir. Mereka menyalahi aturan alam”. Widura mendengarkan. Dia sendiri tak begitu tahu pasti, mengapa kakaknya yang tertua bisa memiliki 100 anak. Yang Arya Widura tebak, mungkinkah 100 keponakannya itu anak-anak adopsi. Destarasta membawa 100 anak balita itu secara tiba-tiba dan memperkenalkan kepadanya, bahwa mereka keponakannya.

Dia yang jauh tak tersentuh. Dia yang Maha Sempurna itu, menciptakan manusia dari setetes sperma, lalu menjadi segumpal darah, menjadi daging, diberi tulang dan ditiupkan kehidupan di dalamnya. Itulah yang dikatakan Muhammad, sebagaimana dikatakan rasul-rasul sebelum Dia.

Tapi teknologi selalu membuat jalan-jalan pintas yang kadangkala mengganggu keseimbangan alam.

-----

Kalau semua bisnis Pandu jatuh ke tangan Destarasta, itu memang keberuntungan yang luar biasa. Destarasta sudah tersisih dari penerus bisnis Basuketi. Ketika Pandu mati mendadak, perwalian atas keluarga dan bisnis Pandu jatuh ke tangannya. Ini bukan lagi durian runtuh tapi kebun durian yang diberikan kepadanya.

Maka dari keuntungan bisnis yang dimiliki Pandu, Destarasta membangun perusahaan DNA Inc, yang bergerak di bidang bioteknologi, rekayasa genetika. DNA Inc membuat produk pangan, komestik, hingga obat. Tapi yang tak banyak diketahui orang ada divisi tersembunyi di DNA, yang memiliki proyek khusus rahasia: menciptakan kloning manusia, untuk keperluan militer. Yang bakal menyuplai tentara unggul, baik dari fisik maupun intelegensia.

Divisi kloning di DNA Inc tak pernah ada dalam struktur perusahaan. Ini proyek rahasia yang langsung ditangani Gandari, istri Drestaratra. Perempuan cantik itu yang menjadi chief executive officer Gen X, untuk program kloning di DNA Inc.

Sebenarnya proyek rahasia ini dibuat untuk meredakan kemarahan Gandari, yang selama 20 tahun menikah belum juga memperoleh keturunan. Dia wanita normal, begitupula suaminya, juga lelaki yang selalu hangat dalam hal bercinta. Tapi ada banyak hal yang membuat Gandari senantiasa ingin marah. Salah satunya karena dia mencintai Pandu, ayah para Pandawa. Tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Pandu lebih memilih Dewi Kunti, dan meminta dirinya untuk bersedia dinikahi Destarasta. Gandari menyanggupi karena dirinya ingin selalu dekat dengan Pandu. Dan waktu berjalan terus.

Rindu dendam Gandari, menciptakan rasa benci yang membuat mata hatinya tak bisa melihat sesuatu yang benar pada keluarga Pandu. Kebahagiaan bagi keluarga Pandu adalah siksa yang menggelisahkan. Dia merasa puas kalau keluarga Pandu tertindas. Gelombang kebencian itu membadai ketika keluarga Pandu dan Destarata berseteru.

Kedua keluarga itu saling berhadapan memperebutkan aset miliaran dolar, yang membentang di lima benua. Siapapun tahu keluarga Pandawa – anak-anak Pandu dan keluarga Kurawa – anak-anak Destarata adalah dinasti keempat dari keturunan Basuketi.[1] Tapi, menurut aturan keluarga Basuketi, hanya anak-anak yang dilahirkan tanpa cacat yang berhak menjalankan bisnis keluarga. Aturan ini membuat Pandu dan anak-anaknya berhak menjalankan bisnis Astina.

Destarata, bukannya tak cakap menjalankan bisnis. Dia memberi bukti kepada ayahnya, Viyasa,[2] bahwa dia mampu. Lalu, dia memburu sekolah bisnis terbaik di seluruh pelosok negara, dan menjadi lulusan terbaik di setiap sekolah bisnis yang dia tuju. Sayang dia buta. ”Apa salahnya orang buta menguasai dunia,” katanya suatu ketika dengan resah kepada Gandari.

”Bisnis bukan sekadar didapat di sekolah terbaik tapi talenta. Ayah tak melihat itu pada dirimu,” kata Viyasa di depan Gandari dan Destarata, ”Kalau anak-anakmu cakap, merekalah yang mengelola Astina. Tapi untuk saat ini biarlah Pandu, adikmu yang meneruskan usaha keluarga ini”. Di luar hujan dan angin seperti mengamuk. Dan Gandari mengingat setiap kata itu dengan jelas.

-----

Tanpa anak, Gandari tak mungkin mewarisi kekayaan keluarga suaminya: kerajaan bisnis bernama Astina. Astina konsorsium raksasa yang menguasai bisnis teknologi informasi, senjata, hingga susu kaleng.

Desember yang dingin, mengantar Gandari ke Montreal. Dia mencari jejak perusahaan bioteknologi. Berita yang dibawa serat optik yang sampai di notebook-nya, menyebut para ilmuwan di perusahaan itu telah berhasil membantu seorang wanita Amerika melahirkan bayi hasil kloning.

Gandari berpikir keras soal kloning. Dia merebahkan kepalanya di sofa, televisi plasma 45 inch yang nempel di tembok tiba-tiba bercerita soal Montreal. CNN melaporkan:

Kerusuhan pecah di Montreal, Kanada. Kerusuhan ini dipicu aksi penembakan oleh polisi terhadap tiga orang remaja pada Sabtu lalu. Seorang di antara korban yang baru berusia 18 tahun tewas di rumah sakit. Hingga kini penyelidikan insiden penembakan tersebut masih berlangsung. Kerusuhan pecah antara demonstran dan polisi anti huru hara, setelah aksi damai berubah menjadi aksi pembakaran. Pengunjuk rasa membakar delapan mobil yang sedang diparkir di luar markas pemadam kebakaran. Pembakaran akhirnya menyebar ke jalan-jalan di Montreal yang menyebabkan terbakarnya tiga buah truk. Pihak berwenang yang menggunakan peralatan lengkap baru dapat menenangkan keadaan Senin (11/8) pagi. Tiga polisi dilaporkan cedera dalam kejadian ini, sementara enam warga ditangkap setelah ketahuan membobol pertokoan serta penyalahgunaan narkoba.

“Halo Respati, apakah di sana aman. Aku akan berangkat besok!” kata Gandari kepada Respati, CEO Prime, salah satu perusahaan properti milik keluarga Drestarata.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Nyonya. Kami menjemput Anda. Pusat kota memang sedang kurang bagus, tapi bukan berarti seluruh Montreal kacau balau,” sahut Steve dari seberang benua.

Tepat tengah malam, roda jet pribadi Gandari berdecit di atas landasan Montréal–Pierre Elliott Trudeau International Airport. Suhu udara minus antara 2 derajat hingga minus 10 derajat, membuat Gandari merapatkan jaket woolnya. Dia memasang rapat penghangat telinga, yang bentuknya mirip earphone. Segera saja limosin hitam membawanya pergi. Perjalanan dilalui tak begitu cepat, iring-iringan Hummer yang mengawal Gandari harus menyesuaikan ritme buldozer di depan mereka, yang meminggirkan salju, agar iring-iringan itu tak tergelincir.

Desember itu, cuaca di Montreal tak bersahabat. Salju setinggi lutut dan angin dingin yang membawa hujan salju berkesiur kencang. Iring-iringan Gandari dan pengawalnya menyusuri Sungai Saint Lawrence. Konvoi itu lalu memasuki kota tua Montreal. Gedung Notre-Dame de Montréal Basilica tampak dari balik jendela limosin seperti disepuh warna kuning. Lampunya di dalamnya memancarkan rasa hangat. Gedung tua itu berdiri megah dalam tenangnya malam.

Pukul 03.00 Gandari terlelap dengan selimut hangat. Di salah satu ruang president suite Hotel Hilton Montreal Centre-Ville, di pusat kota Montreal.

-----

Kontak yang dibangun dengan perwakilan Astina di Kanada membuat Gandari tak perlu menyusuri lorong gelap untuk menemukan Claude Vorilhon, pendeta sekte agama Raelian.[3] Sewaktu bangun pagi, secarik memo telah ada di meja rias kamarnya. Isinya Claude Vorilhon akan menemuinya.

Pukul 11.00 ketika Gandari menuruni tangga lobi, dia mendapati pendeta tinggi besar dengan garis-garis muka yang tegas itu. “Selamat pagi,” kata Gandari ramah, menjabat uluran tangan Claude Vorilhon. Lalu mereka berbincang tentang Kanada yang dingin, lalu bergeser ke negeri tropis hangat. Claude lalu masuk limosin Gandari, menuju laboratorium rahasia mereka.

Mereka akhirnya sampai di sebuah bangunan berarsitektur serba minimalis berwarna cerah, yang serba bersudut namun tak kaku, lantaran banyak pephonan di sana-sini. Interiornya canggih. Banyak maket gedung ikonik di berbagai kota dunia – mungkin saja belum dibangun. Hiasan dindingnya seputar mobil-mobil tercepat dan pesawat jet, lengkap dengan data teknis. Suara musik techno meletup lembut di seluruh ruangan.

”Kloning adalah jalan menuju keabadian, kami membantu apa yang Anda butuhkan untuk membuat manusia unggul,” kata Claude Vorilhon pelan ke telinga Gandari.

”Juga teknologi sekaligus para ahlinya?”

”Di Clonaid, perusahaanku Nyonya, tak ada yang gratis. Riset kloning mahal. Kami tak pernah mengulangi kegagalan 1996,”[4] Mata Claude memandang Gandari. Dua mata dengan sorot yang tajam itu saling tatap.

“Anda punya bukti?”

“Anda ingin bukti, Nyonya?”

Claude Vorilhon menyibakkan jubah pendeta hitam seperti dari abad Renaissance. Tanggan Claude mempersilahkan Gandari ramah. Mereka terus memasuki ruang demi ruang rumah itu, hingga sampai ke tempat yang paling belakang. Mereka menuruni tangga di beranda belakang. Mengitari setengah kolam renang lalu memasuki gerbang. Banyak penjaga berjas hitam dengan kacamata Oakley memandang sigap ke arah para pengawal Gandari. Suasana tenang tapi tegang karena para pengawal itu, hanya saling pandang tak ramah tanpa bicara.

Gerbang itu mengantar ke lorong yang terang benderang, memanjang. Beberapa pintu terbuka dan tertutup otomatis. Orang-orang berbusana jas laboratorium ke luar masuk, dengan buku catatan yang diletakkan di atas papan tipis berpenjepit kertas.

Mereka sampai di ujung lorong. Sebuah atrium yang luas berlantai dua pada dindingnya. Hilir mudik orang di lantai atas kelihatan jelas, karena dindingnya transparan. Ketika Gandari dan sepuluh pengawalnya memasuki ruang itu, orang-orang di lantai dua menatap ke bawah. Mereka lalu turun dan bergabung dengan rombongan Gandari.

”Nyonya Gandari, inilah Eve! Manusia kloning kami yang pertama! Dan ini ibunya,” kata Claude Vorilhon bersemangat.

Gandari menyalami, seorang wanita cantik bermata biru dengan rambut coklat yang menarik. Gandari lalu melihat bayi, yang sedang tidur di ranjang kecil dengan nyenyak. Anak itu dikelilingi mesin-mesin kedokteran canggih, yang terus memantau bio ritme tubuhnya.

”Nyonya dia bayi terbaik, sehat, dengan kecerdasan Einstein. Dia dibuat dengan genetis terpilih lalu diletakkan pada rahim wanita itu,” kata Claude.

”Hmmm, dia manusia dengan struktur tubuh terbaik, bagaimana soal moralitasnya?”

Claude terdiam. ”Maaf, Nyonya, sejujurnya saya terlalu bersemangat. Sekali lagi maaf itu saya kesampingkan,” kata Claude.

Gandari menghembuskan nafas panjang. Lalu menghirupnya lebih dalam lagi. Hingga dadanya membusung. Di dalam pikiran Gandari saat itu hanyalah bagaimana dia memiliki keturunan yang hebat. Para calon penguasa.

”Baiklah. Aku masih tertarik proyek ini. Anda membuka dengan harga berapa?”

”Teknologiku seharga seratus juta dollar, Anda berhak menawar”.

”Tidak!” ketus Gandari, ”Untuk proyek pribadi, aku tak pernah menawar. Anda mampu membangunnya di Indonesia sesegera mungkin?”

“Baik Nyonya.”

Gandari tersenyum. Ambisinya akan terwujud. Tapi siapa yang tahu jalan hidup dan garis nasib manusia? Dia ingin anak juga kekayaan dan kekuasaan.


[1] Basuketi dalam epos mahabaratha versi wayang purwo, adalah raja kerajaan Wirata. Dari pernikahannya dengan Dewi Yukti, dia memiliki anak Parasara dan Santanu. Santanu menikahi Dewi Gangga dan berputra Bisma, sedangkan Parasara yang menikahi Dewi Durgandini memiliki putra bernama Viyasa atau Wiyasa. Wiyasa menikahi tiga putrid. Dari Dewi Datri berputra Widura, dari Dewi Ambiki berputra Pandu yang menurunkan Pandawa (Yudhistira, Bimo (Bim), Arjuna (Jun), Nakula dan Sadewa. Sedangkan dari Dewi Ambika berputra Destarata yang menjadi bapak para Kurawa (100 anak yang tertua bernama Duryudana).

[2] Viyasa dalam versi India, dalam wayang purwa disebut Wiyasa atau Abiyasa. Dia adalah sepupu Bisma.

[3] Claude Vorilhon mantan jurnalis Perancis yang percaya bahwa manusia merupakan hasil kloning mahluk luar angkasa sekitar 25 ribu tahun lalu. Calude Vorilhon adalah pendeta dari sekte Raelian. Kelompok yang mendapat pengakuan resmi pemerintah negara bagian Quebec, Kanada, sebagai gerakan agama di tahun 1990-an ini mengklaim memiliki 55 ribu anggota di berbagai penjuru dunia, termsuk Amerika. Kelompok ini memilki sebuah taman yang terbuka untuk umum bernama UFOland, dekat Montreal. Calude Vorilhon percaya kloning tahap kedua, adalah teknologi kloning yang mampu menciptakan manusia dalam waktu beberapa jam, namun tidak akan sepenuhnya sama. Pada tahap tiga, teknologi kloning bisa menciptakan kloning lengkap dengan memori dan kepribadian dari seseorang yang dikloning. Arthur Caplan, pakar etika kedokteran Universitas Pennsylvania mengatakan, ia ragu Clonaid sukses menciptakan kloning lewat 10 percobaan. Menurut Caplan, percobaan pada hewan umumnya hanya menciptakan satu keberhasilan dalam 400 percobaan. Menurut Caplan kloning juga sangat berbahaya. Setengah jumlah hewan hasil kloning mati dalam waktu satu tahun, sementara mereka yang bertahan hidup mengalami gangguan kesehatan.

[4] Pada 1995, kelompok ilmuwan di Roslin Institute di Edinburgh yang mencari cara memodifikasi genetic binatang ternak. Setahun kemudian para ilmuwan itu berhasil membuat kloning dari embrio sel milik domba bernama Megan dan Moral. Embrio ini tumbuh beberapa minggu dilaboratorium. Publik tak banyak tahu hasilnya hingga muncullah Doly, domba hasil kloning yang lahir 5 Juli 1996. Domba ini mati setahun kemudian, karena terkena infeksi penyakit. Para ilmuwan di Edinburgh mengatakan, Doly bukanlah mamalia atau biantang yang sesungguhnya, karena terbuat bukan dari pertemuan antara sperma dan indung telur.

Selasa, 02 November 2010

Para Pejabat Istana


Di istana kepresidenan yang teduh, hati Manikmaya berbinar-binar senang. Dua kali dia mampu mempertahankan kursi presiden. Di zaman demokrasi yang aturannya pura-pura ketat ini, dirinya sadar benar tak mungkin menjadi presiden sepanjang masa. Dia sudah belajar dari ambruknya dua presiden terdahulu, lantaran terlalu lama memerintah.

Seperti yang direncanakan protokoler rumah tangga istana, tepat pukul 8 pagi, Manikmaya bakal makan bersama dengan empat orang penting yang sukses mengantarnya memenangi Pemilu.

Soal tampil oke di depan kawan ataupun lawan, Manikmaya jagonya. Latihan pidato di depan cermin, menata mimik, mengatur intonasi suara, semuanya dia pelajari. Ini bukan masalah kepantasan tapi bagaimana citra dibentuk, agar tampak wibawa, mengagumkan, juga tampan, terutama bagi ibu-ibu muda istri para pejabat, pejabat wanita, kalau perlu penari istana bisa kepincut dengannya.

Agenda pagi ini, di hari pertama masa jabatannya yang kedua, dia ingin berbincang-bincang dengan para donator, sekadar berterimakasih dan memberi imbal balik, entah itu tender atau kemudahan-kemudahan lainnya. Manikmaya juga harus menemui dua kakaknya, Catugora dan Ismaya, yang pernah menjadi dua tokoh nasional sekaligus kandidat kuat presiden di masa lampau.

Langkah Manikmaya dibuat semantap mungkin menyusuri koridor istana. Setidaknya, para pengawal istana akan tergetar mendengarnya. Dan pastinya tamu-tamu terpesona tepat ketiku pintu terbuka lebar, diiringi senyumnya yang bijak juga ramah.

Acara jamuan pagi masih sejam lagi. Manikmaya perlu ngobrol sebentar dengan kolega dekat, yang membantunya memenangi Pemilu. Setidaknya, dia bisa minum teh dan makan kudapan kecil, agar nantinya dalam jamuan resmi dia tak tampak rakus alias makan dengan kalap, yang pasti merusak wibawanya. Dengan perut setengah kenyang, Manikmaya ingin menjaga wibawa.

------

Di depan meja yang tak sepenuhnya bulat itu, ada Catugora yang biasa dipanggil Togog, kakak Manikmaya. Kalau sekarang Manikmaya menjadi presiden yang mampu mengatur negara sekehendak hatinya, itu karena peranan Togog. Yang juga tak bisa diabaikan seperti Kresna, Sangkuni, Ismaya.

Manikmaya, yang duduk di ujung meja, seperti kepala keluarga yang menghadapi makan malam keluarga. Semua saling tatap dan tersenyum.

“Terimakasih Ismaya, Catugora, berkat dukungan kalian, Aku terpilih lagi.”

“Sudahlah kita bertiga adalah saudara, apapun yang terjadi,” kata Catugora, Ismaya tersenyum.

“Anda perwakilan Astina, pengganti Pandu?” Mata Manikmaya memandang Sangkuni.

“Benar, Pak presiden. Saya Sangkuni. Sepeninggal Pandu, semua urusan Astina, Saya tangani bersama Destrata, kakak Pandu,” kata Sangkuni ramah.

“Apakah Viyasa mengubah aturan, bahwa pemegang kekuasaan Astina bisa orang, yang maaf, cacat fisik?”

“Pak Presiden, tak ada yang mengubah aturan itu. Untuk itu saya dan Destarastra memegang perwalian anak-anak Pandu, hingga mereka dinilai layak mengendalikan Astina.” Sangkuni bertutur runut dan lancar.

“Aku berteman baik dengan Pandu, dialah donator besar setiap kampanyeku, hingga dia meninggal mendadak di dalam kendaraanku, lalu apa yang kau pinta Sangkuni untuk Astina?”

“Saya pebisnis mungkin juga seorang yang selalu berjudi dengan nasib untuk mendapat keuntungan yang besar. Tapi ada masa saya menginginkan semuanya mudah. Anggap saja Pandu berinvestasi untuk anak-anaknya dan seluruh keturunan Viyasa.” Mata Sangkuni mengkilap-kilap, ada keserakahan yang membara di dalam sorot matanya.

“Kamu ingin kemudahan untuk semua bisnismu?”

“Betul Pak Presiden.”

Hmmm, Pandu memang sobatku tapi Anda bagiku, tetaplah orang asing.”

Mendengar kata-kata Manikmaya, Sangkuni mulai gelisah.

“Pandu pemodal tunggal saat pertama kali aku menjadi presiden. Untuk pemilihan kedua, Astina hanya menyokong separuh dari dana pemenangan Pemilu. Maka aku harus berbuat adil. Ada beberapa pengusaha yang menanggung setengah kampanye. Aku hanya bisa memberi kemudahan, asal bisnismu memang benar-benar bagus.”

“Kalau itu kehendak Pak Presiden, itu sudah lebih dari cukup.”

Beberapa pegawai istana kepresidenan memasuki ruangan. Mereka meletakkan semua hidangan dengan sangat terlatih. Sopan juga cekatan. Tak sampai semenit semua hidangan sudah tertata. “Silahkan Pak Presiden,” kata salah seorang dari mereka. Di atas meja tersedia hidangan laut yang serba rebus, juga sayuran segar. Usia para tamu yang datang membuat Manikmaya memesan masakan serba rebus. Mereka mulai mengudap satu persatu makanan sembari melanjutkan perbincangan.

“Tapi berhati-hatilah Sangkuni, Astina tak bisa memonopoli semua bisnis. Bila itu terjadi ekonomi tak bergerak, bukan itu saja kekayaan kalian memiliki potensi besar menyaingi kekuasaan pemerintah. Aku tahu Astina membayar polisi, membayar Departemen Tenaga Kerja untuk menyelesaikan masalah pemogokan buruh garmen di kawasan industri kota J, dan pengadilan memenangkan kalian, mengabaikan tuntutan buruh yang kalian gaji tak layak itu. Sepeninggal Pandu, kalian menjalankan bisnis dengan mengabaikan hak-hak buruh!” Suara Manikmaya Meninggi.

“Yang Pak Presiden dengar, sebenarnya tidak seperti itu.”

“Kamu mau bukti? Ada Kresna di sampingmu. Kamu tahu bukan, dia kepala kepolisian negara ini dan dia sudah menerima aduan dari bagian pendisiplinan internal kepolisian, bahwa polisi yang memadamkan protes buruh dengan kekerasan, teryata kalian yng membayar.”

Sangkuni mulai merasakan tempat duduknya panas, dan hidangan yang dia santap serasa getir. “Kalau Anda melakukan hal yang tak benar dengan buruh, lalu pengadilan, departemen tenaga kerja, juga kepolisian membela perusahaan Anda, maka hancurlah nama pemerintah, juga Aku!”

“Pak Presiden atas nama Astina saya minta maaf. Tapi Pak Presiden perlu mengetahui bisnis kami kokoh di negeri ini. Bahkan menggurita di lima benua. Kalau kami mempertahankan melakukan produksi di negeri ini, itu hanya soal kesejarahan. Viyasa pendiri Astina lahir di negeri ini. Astina dengan mudah menarik investasi ke negeri lain. Kami, pebisnis tak mengenal nasionalisme dengan begitu baik. Ke mana uang berhembus di situ kami berada,” kata Sengkuni tak kalah berapi-api.

“Hati-hati dengan kata-katamu! Uang memang bisa membeli segalanya, tapi pemerintah tak mungkin ditekuk oleh pengusaha. Aku kecewa dengan Astina, aku berharap pemimpin pengganti Astina sebijak Pandu. Untuk itu Anda tak perlu berlama-lama, Anda sudah tahu bukan pintu keluar,” suara Manikmaya lemah lembut tapi mendesir tajam di hati Sangkuni, yang membuat seluruh tubuhnya ngilu. Sangkuni merasa ingin marah sekaligus merasa dipermalukan luar biasa.

“Baik Pak Presiden, terimakasih atas pertemuan ini. Kami Astina akan berhitung lagi. Selamat malam.

Ruangan kembali hening tapi kali ini serasa lebih ramah. Empat orang yang berada satu meja itu adalah keluarga. Kresna meski bukan sanak saudara ketiga orang itu, namun Manikmaya, telah menganggapnya seperti anak sendiri. Manikmaya memiliki seorang anak bernama Wisnu, yang meninggal dunia di usia remaja. Suatu hari, ketika mengunjungi akademi militer, dia menemukan seorang taruna yang mirip dengan Wisnu, taruna itu Kresna. Parasnya yang tegap, gagah, dengan kulit hitam legam yang menunjukkan sifat perwira mengingatkan dia pada Wisnu. Sejak itu hubungan keduanya menjadi sangat dekat.[1]

Obrolan di meja itu seperti reuni keluarga, namun pelan-pelan bergeser membicangkan Astina.

“Ismaya, Catugora. Kalian mengabdi pada keluarga Astina, juga Kresna sangat akrab dengan anak-anak Pandu, menurut kalian apa yang harus kulakukan dengan Astina?”

“Payah,” sahut Catugora. Wajahnya menegang.

“Mengapa?”

“Sangkuni, Dorna, berinisiatif menyingkirkan mereka, dan rupa-rupanya akan berhasil”.

“Aku harus melakukan sesuatu untuk Astina,” kata Manikmaya kepada tiga tamunya.

-----

Pintu diketuk pelan. Sekretaris Manikmaya yang cantik memberitahu, konferensi pers akan segera dimulai.


Foto : www.acus.org

[1] Dalam cerita pewayangan, Sanghyang Tunggal atau Manikmaya memiliki permaisuri bernama Dewi Umayi. Dari perkawinan keduanya lahirlah Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, Batara Wisnu, dan Batara kala. Batara Wisnu dalam cerita pewayangan menitis pada diri Kresna.

Jumat, 29 Oktober 2010

Sukab Pensiun


Sukab Pensiun

Pagi-pagi benar Sukab ke kantor. Di usia 65 tahun harusnya dia sudah pensiun. Tapi apa boleh buat dia sangat mencintai pekerjaannya sebagai wartawan. Untung saja istrinya mengerti benar wartawan itu profesi yang aneh, di mana rasa penasaran dan logika diaduk menjadi satu. Hidup dikejar-kejar tenggat, dan selalu memikirkan hajat hidup orang banyak. Heroik tapi juga menyedihkan. Apalagi di negeri Sukab, gaji wartawan tak besar-besar amat.

“Kalau mau kaya jangan jadi wartawan, jadi pengusaha saja,” begitu kata bapaknya Sukab, sewaktu Sukab masih menjadi wartawan magang. Sukab sudah terbiasa, sehari tidur paling 4 jam. Pagi ini dia masuk pagi karena ingin memberi penugasan kepada wartawan yang ngepos di istana, untuk meliput hari pertama di periode kedua pemerintahan Manikmaya.

-----

Ruang rapat masih kosong. Hanya ada secangkir kopi di meja di mana Sukab biasa memimpin rapat. Dia buka notebook, mengetik TOR[1] dengan beberapa angle yang mesti ditulis reporternya nanti. “Jo, kopinya kemanisan,” teriak Sukab.

“Maaf Pak, apa perlu saya ganti,” timpal Joko dari balik pintu.

“Nggak usah, bikin aja satu lagi taruh di ruangan saya. Kasih krim ya, gulanya sedikit!”

“Iya Pak. Beres”.

Orang yang pertama kali masuk ruang rapat adalah Killmus. Dia malu-malu, pelan-pelan membuka pintu. Makhluk yang satu ini bagi Killmus adalah manusia setengah dewa. Bikin sungkan, meski suka bercanda. Bagi Killmus, Sukab adalah guru juga idola. Memang dari tangan Sukab banyak lahir para pemimpin redaksi dan wartawan-wartawan handal yang bekerja hampir di seluruh media massa ternama di kota J. Bahkan kalau Killmus liputan ke kota S, nama Sukab sudah akrab di telinga para seniman, politisi, dan dosen. Makanya Killmus sungkan minta ampun.

Killmus mengambil kursi untuk reporter, yang biasanya berderet-deret kayak meja kampus. Sementara para senior; redaktur, redaktur pelaksana, redaktur eksekutif, berada di sekitar Sukab. Di meja besar. Di belakang Sukab terdapat layar proyektor dan televisi 49 inchi.

“Kamu siapa?”

“Saya Muklis, wartawan magang. Oh kamu yang dijuluki Killmus itu. Sampai mana laporan investigasi soal pemogokan buruh?”

“Sudah sampai di Mas Kartono, Pak, laporannya,” kata Killmus canggung.

“Kata Kartono laporanmu detil, kayak cerita konspirasi. Yakin itu nggak ngarang?”

Killmus agak tersinggung.

“Bapak boleh ngecek, sumbernya”. Killmus mengeluarkan ponsel – yang isi pulsanya nyaris habis.

“Oke-oke, jangan ambil serius”.

Killmus bernafas lega. Bayangkan kalau pulsa seuprit itu dipakai, pasti terputus dan yang pasti memalukan. Killmus sejenak teringat Bimo, anak muda tajir itulah yang membuat laporannya gamblang. Labirin misteri dan informasi yang simpang siur berkelindan menjadi terurai dan terang benderang. Banyak perusahaan garmen bangkrut, karena Keluarga Astina yang kartel tekstil itu, tak kuat menahan gempuran produk dari negeri Cina yang berharga murah.

Pintu dibuka lebar dari luar. Mas Kartono masuk, diikuti Mbak Aneke, Mas Supri, Mas Jito,dan para redaktur lainnya. Mata Killmus tertuju ke Mbak Dewi yang masuk belakangan. Gadis seksi dengan kemeja putih yang terbuka memperlihatkan dada yang bagus. Dia redaktur magang wanita, paling cerdas juga paling liar. Killmus suka itu. Dewi melihat Killmus lalu tersenyum. Pembuluh darah Killmus serasa dialiri kafein. Pagi menjadi begitu indah.

“Ayo Kar dibuka. Nunggu Rusdi Mas,” kata Kartono. Pintu terbuka lagi, tapi yang masuk bukan Rusdi, tapi Geni, wartawan yang baru diangkat. Anaknya nekat, rambutnya gondrong. Ada tato Che Guevara di betisnya, lengannya penuh tatop juga, makanya sering ditutup pakai deker hitam. Ini anak pantas jadi musisi metal timbang wartawan.

Geni mengambil tempat duduk di samping Killmus, sambil menyeringai, “Apa kabar Cuk?” kata Geni. Killmus tersenyum. Sialan ini anak, semalam hampir membuatnya teler dan tidur di jalanan, sekarang menyapa apa kabar. Rusdi masuk tergesa-gesa. Rambutnya yang panjang masih basah.

“Ayo mulai rapat,” kata Sukab. Semua diam. “Hari ini hari pertama Manikmaya bertugas. Kabarnya aka nada ramah tamah dengan wartawan, siapa yang ngepos di istana?”

“Aryo,” jawab Kartono, “tapi Aryo itu tak begitu bagus membuat feature[2]”.

“Biarkan Aryo tetap bertugas, kirim Geni, untuk reportase. Sedangkan kamu Kar bikin wawancara eksklusif dengan Manikmaya. Kita buat liputan khusus. Soalnya pada masa pemerintahan pertama, Aku mencium banyak konspirasi, dari berbagai tender proyek nasional didanai asing di negeri ini yang dimenangi terus Astina, dan matinya Pandu, yang membuat Grup Astina dikuasai anak-anak saudara Pandu, yang tak berhak memegang kendali perusahaan. Aku dengar Grup Astina sangat dekat dengan istana kepresidenan. Juga aku dengar kabar ada kredit macet untuk membiayai kampanye pemenangan Manikmaya. Kamu bisa bertanya soal ini ke Manikmaya, terutama apa yang harus dia lakukan untuk lima tahun ke depan”.

Kartono manggut-manggut mendengar cerita Sukab. Grup Astina memang sedang menjadi laporan investigatif. Tiga bulan lamanya naskah mengendap di komputer Kartono dan Rusdi; dua jagoan laporan invetigasi. Rencananya, kalau bukti sudah terang benderang, akan diterbitkan. Majalah Sukab, menunggunya sampai usai Pemilu, tapi bukti-bukti masih mengarah. Belum klik.

Rapat diteruskan dengan laporan para redaktur desk[3], dan rencana foto, desain sampul, disusul guyon gaya wartawan. Tiba-tiba Sukab berdiri.

“Kawan-kawan. Ini pemberitahuan dari Departemen SDM, kurang sebulan lagi aku berhak pensiun. Rasanya aku memang belum berbuat banyak untuk dunia kewartawanan, apa boleh buat, semua harus dibatasi usia. Semoga apa yang sudah kulakukan untuk majalah kita diteruskan oleh generasi yang akan datang. Jurnalistik adalah pekerjaan mulia, dia adalah pelita ketika negara mengalami kegelapan. Dia juga mampu membuat masyarakat menjadi aman, bukan hanya tahu sedang dilanda apa negeri kita, tapi untuk mengetahui haknya, dan juga tahu kewajibannya. Maka bekerjalah untuk pembaca, ikuti hati nuranimu. Jangan pernah mau disuap, karena bukan hanya institusi kita yang buruk namanya, tapi pembaca tak akan memperoleh kebenaran”.

Semua terdiam dan bertanya-tanya dalam hati. Sukab pensiun? Semua gelisah. Pak Tua ini bukan sekadar wartawan senior tapi seseorang yang memikat, bijak, cerdas, tapi juga naïf. Suka mentraktir anak buahnya yang tak punya duit. Pastinya seluruh kantor akan kehilangan sukab. Dari office boy sampai sopir kantor. Sukab pensiun?


[1] TOR atau term of referece adalah semacam referensi yang diberikan redaktur kepada reporter. Biasanya berisi latar belakang masalah, angle, siapa yang harus diwawancarai dan beberapa pertanyaan penting. Juga di dalamnya ada rencana foto.

[2] Feature, dalam berbagai buku jurnalistik, feature adalah karangan khas yang ditulis bergaya sastra. Muncul di tahun 1930-an karena berita televisi dan radio begitu masif, maka para redaktur koran dan majalah berusaha “mengawetkan” berita dengan cara menulis dengan gaya sastra, dengan pendalaman berita (indepth) dan banyak cerita mengenai human interest.

[3] Redaktur desk adalah redaktur yang membawahi satu bidang liputan, misalnya desk olahraga, politik, ekonomi bisnis, hukum, agama, dll.

Foto : yalibnan.com

Senin, 25 Oktober 2010

Buruh yang Mengamuk


Di sudut Jakarta. Bimo sedang mengangkat satu kakinya di kursi kayu panjang. Dia sedang menandaskan nasi dengan sayur asam berlauk tempe dan ayam goreng. Keringat bercucuran membasahi dahinya. Satu piring kosong, dengan menu serupa, sudah tandas lima menit yang lalu. Sesekali Bimo mengelap keringat yang mulai mengganggu.

Killmus, pemuda Jepara semester akhir sebuah perguruan tinggi, mengamati Bimo dengan jakun naik turun, membayangkan betapa nikmatnya kudapan yang dinikmati Bimo. Sesekali Killmus menelan ludah.

-----

Perjumpaan Killmus dengan Bimo memang tak terduga. Killmus bekerja untuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengurusi persoalan buruh, suatu siang di hari Sabtu, Killmus mendapati lelaki tegap setinggi 185 cm, seperti karung kosong, lemas dan tak bertenaga. Bersandar di pagar gerbang kawasan industri. Killmus mengira anak muda itu salah satu buruh yang mungkin saja sedang sial, lantaran ditinggal kabur majikannya tanpa pesangon, tanpa duit di kantong, dengan tunggakan kredit sepeda motor yang kurang sekian bulan. Pemandangan seperti itu sudah biasa di kawasan industri.

Sudah 3 bulan Kilmus akrab dengan lingkungan buruh. Dia magang di sebuah majalah ternama di kota J, selain bekerja untuk sebuah LSM. Dia menikmati hiruk pikuk di bawah matahari terbit, ketika puluhan ribu pria dan wanita berbondong-bondong keluar dari kamar-kamar kos yang sumpek.

Para wanita bersolek secantik mungkin beraroma parfum murah yang menyengat. Mendatangi mobil-mobil omprengan yang menanti di depan gerbang. Biasanya mobil itu diisi hingga penuh sesak, melebihi kapasitas. Ketika mobil omprengan itu berhenti, para buruh menuju penjaja nasi. Mereka sarapan pagi tepat di depan pintu masuk kompleks pabrik garmen. Ada banyak penjaja makanan murah di situ.

Kalau matahari agak tinggi, maka bermacam-macamlah kegiatan penghuninya. Mereka tekun menggunting bahan, lalu mengopernya ke bagian jahit, pakaian yang sudah setengah jadi itu dikirim lagi ke bagaian pemasangan kancing, sampai terus ke bagian pengemasan. Seperti robot yang bekerja dengan perhitungan waktu ketat. Bahkan ke toilet juga pakai menit. Sementara pabrik yang di sebelahnya, buruhnya sama sekali tak bekerja. Duduk-duduk di depan gudang menanti kawan-kawan mereka yang lain. Bersiap melakukan demo lantaran pemiliknya melarikan diri, setelah usahanya hampir bangkrut.

-----

“Kau tampaknya butuh bantuan teman?” sapa Killmus. Bimo tersenyum ramah. Keduanya berjabat tangan. Tangan Bimo yang berotot itu terasa lunglai.

“Bimo,” ujar pemuda itu memperkenalkan diri. Dengan tenaga yang tersisa dia jabat erat tangan Killmus.

“Wah asiknya, kita ngobrol di warung itu, mungkin masalahmu bisa kubantu”.

Ajakan Killmus disambut dengan harap oleh Bimo. “Ayo kawan silakan pesan makan atau minum,” kata Killmus. Uang di kantong Killmus sebenarnya tak seberapa banyak. Lima hari lagi, dia akan gajian. Di kantongnya hanya ada uang yang cukup untuk lima hari itu. Kiriman bapaknya di kampung hanya cukup untuk bayar kos, soal kuliah dan biaya hidup di kota J yang mahal, bisa diantisipasi dengan gaji dari LSM dan menjadi wartawan freelance.

“Beri kami dua es teh manis, Kau pesan apa Bim?”

“Ya teh manis, dan nasi campur.” Sampai detik itu, Killmus masih mengira belum ada bahaya yang mengancam kantong. Hingga pada suap terakhir Bimo dengan santai memesan porsi yang kedua. “Tambah lagi!” kata Bimo. Dan Killmus gelisah luar biasa saat Bimo memesan porsi yang keempat.

“Oke teman, apa masalahmu, mungkin aku bisa membantumu.”

“Ah, soal perut kawan. Sejak pagi perutku belum terisi.” Bimo tertawa.

“Sialan, kupikir kamu buruh yang sedang dipecat!”

“Mengapa dipecat?”

“Ah Kau. Memangnya Kau ini siapa, darimana?”

“Aku minggat dari rumah. Ternyata menyenangkan. Ada banyak hal dalam sehari ini yang kudapati di luar rumah.” Bimo meminum tandas es teh manis yang ketiga.

“Memangnya kau tinggal di mana?”

“Ah sudahlah, percuma aku cerita apa-apa yang bukan rumahku lagi,” ketus Bimo.

Killmus mulai berpikir kawan barunya ini anak orang kaya yang sedang minggat dari rumah. Sejak pertemuan itu, mereka kian akrab. Killmus kerap membawa Bimo main ke LSM atau bergaul dengan buruh pabrik di kawasan industri. Bimo baik, ramah, juga pandai bergaul. Hanya saja Killmus tak tahan dengan selera makannya yang luar biasa.

-----

Di warung Tegal, di mana Bimo dengan santai mengangkat satu kakinya itu. Killmus gelisah, persoalan klasik menderanya lagi. Biasalah tiap akhir bulan, kantongnya tak pernah surplus.

“Bim sudahlah makanmu itu. Kau tak melihat perutmu kian membesar.”

“Yah, tenang Kawan. Kali ini Kau tak usah membayar. Aku punya cukup banyak uang.”

Bimo memang tidak tambum, tubuhnya tegap berisi meski tak sekekar binaragawan. Jadi porsi empat piring sekali makan memang layak.

“Bagaimana soal buruh tekstil yang mogok kerja kemarin?” Bimo melirik dengan sorot menginterogasi Killmus.

“Oh ya, mereka menuntut PT Silk International membayar gaji mereka yang tertunda tiga bulan.”

“Dibayar?”

“Belum,” jawab Killmus dengan pasrah seolah dirinya bernasib seperti para buruh tadi.

“Kau tahu siapa Silk International itu? Itu perusahaan dari Korea. Tapi pemiliknya bukan orang Korea, sahamnya dimiliki oleh konsorsium Astina di sana,” kata Bimo berapi-api.

“Hah!”

“Makanya, aku harus membela mereka. Bukan begini caranya memperlakukan buruh kontrak dengan pendidikan rendah. Apakah kalau produksi mahal dan majikan tak mampu lagi membayar, lalu hubungan kerja diputus semena-mena. Kalau perusahaan untung, buruh juga tak diperhatikan. Gaji tetap rendah. Bahkan ke WC juga harus diatur memakai kartu, dibatasi waktu ke kamar kecil, agar produksi efisien dan meningkat dengan memaksimalkan jam kerja buruh.”

“Payahnya di negeri ini, buruh tak tahu hak mereka. Makanya mereka harus memperoleh pendidikan yang bagus.”

“Aku sepakat, tapi jangan diajak menempuh jalur kekerasan untuk memperoleh hak mereka. Yang terpenting mereka bisa mengerti aturan, paham hak mereka, juga mampu bernegoisasi dengan majikan, timpal Bimo sembari menyeruput es teh manis.

“Kapan mereka mulai demonstrasi?”

“Siang ini, pukul 2.”

“Lalu tunggu apalagi kawan, kita harus membantu mereka”. Bimo segera membayar lalu meninggalkan warung dengan tergesa-gesa. Killmus heran, tak biasa kawannya ini membayar. Seminggu penuh, biasanya Killmus yang membayar makan Bimo, dengan porsi hebat itu. Tapi sejak sehari menghilang, Bimo kembali dengan wajah seperti pegawai yang menerima bonus besar.

Dengan bergegas Bimo memacu BMW X6 hitam miliknya. Killmus masih belum habis pikir di mana kawan barunya ini memperoleh kendaraan hebat nan mahal. Padahal sebulan lalu, Bimo masih bertampang lusuh, seperti gelandangan yang kehabisan darah. Bimo menggeber gas, menuju pinggiran kota, ke kawasan industri.

-----

Bajo, pimpinan demonstran berwajah merah padam siang itu. Sesekali dia mendengus. Di kepalanya melayang-layang cicilan sepeda motor yang tiga bulan belum lunas. Susu anaknya yang belum dia belikan sejak dua minggu lalu. Juga si sulung yang akan masuk taman kanak-kanak butuh uang pendaftaran.

Saat Bimo membuka pintu mobil. Tangan Bajo sudah terkepal garang. Lalu menatap Bimo dengan marah.

“Kau! Berikan gaji kami!” Bajo meradang, ketika Bimo mendatangi kerumunan. Saat Bajo melayangkan hantamannya, Bimo memalingkan tubuh ke sisi kiri. Hantaman Bajo menabrak udara kosong, lalu Bimo menangkap tangan kanan Bajo. Tangan kiri Bajo hendak meninju Bimo, sekali lagi Bimo memiringkan tubuh dan berhasil menangkap tangan Bajo. Kini dua tangan itu ditangkap dalam posisi bersilang. Bimo menghempaskan tubuh Bajo, dan tubuh itu terdorong lalu terjungkal ke belakang. Bajo berdiri lagi, menantang.

“Stop Jo, tenang Jo, ini kawan kita!”

Keduanya saling tatap. Bimo tersenyum ramah, “Maaf kawan.” Amarah Bajo meredup.

Bimo bergegas kea rah kerumunan demoonstran. “Bim, tunggu,” kata Killmus sembari berlari-lari kecil, mengikuti Bimo.

“Aku ingin menghajar pemilik pabrik,” kata Bimo.

Killmus berpikir cepat, dia tak ingin aksi damai ini menjadi ricuh.

Penjaga pabrik itu berdiri mematung. Beberapa di antara meraka membawa pentungan dan perisai fiberglass. Melihat Bimo, mereka siaga.

“Pak tolong, di mana Lee?” kata Bimo.

“Lee siapa?”

“Lee Dong Kwan.”

“Tidak ada!”

“Aku tahu dia masih di dalam, itu mobilnya!”

“Tidak ada!”

Bimo mulai tak bisa menahan diri. Dia dorong perisai penjaga itu. Merasa terdorong dengan keras, para penjaga itu pasang kuda-kuda merangsek maju. Bimo mendorong lebih kuat. Kedua penjaga terjengkang. Kawan-kawannya berdatangan. Satu peleton satpam itu mendesak Bimo. Lama-lama mengepung. Ada yang meninju, menendang, menyodok.

Bimo meski kuat kalang kabut juga dikeroyok 30 satpam. Bajo dan Killmus segera turun tangan. Terjadilah perkelahian. Buruh yang lain mulai tak sabar dan turun membantu. Satpam-satpam itu mundur setelah sepatu, botol air minum, batu beterbangan ke arah mereka. Bimo ada di barisan depan, paling nekat.

“Mana Lee!!!” Bimo mengambil pentungan kayu, dan melemparnya ke jendela. Di lantai 2 pabrik garmen. Lee berdiri gemetar. Tapi dia harus menghadapi para demonstran itu. Selangkah demi selangkah dia memberanikan diri menuruni anak tangga, menjumpai Bimo yang marah di luar sana.

“Anda Lee?”

“Benar.”

“Tiga bulan gaji mereka belum juga dibayar, Anda tahu itu?”

“Kami bangkrut, tak ada uang buat membayar para karyawan.”

“Tapi mengapa untuk membayar pengamanan Anda bisa?”

“Bukankah kendaraan operasional dan mesin bisa dijual untuk membayar buruh? Atau Anda setelah menjual semuanya akan lari?”

“Bukan begitu?”

“Lalu penyelesaiannya bagaimana?”

“Tunggu sebulan lagi?”

“Sialan!” Bimo mengepalkan jari, tapi tubuh di depannya kelihatan ringkih, meski memiliki seribu akal licik – satu alasan yang cukup membuat Bimo meninju Lee. Tapi Bimo tak juga melakukannya.

“Anda bisa meninggalkan tempat ini, kalau aset perusahaan disita buruh dan perjanjian di atas kertas soal penyerahan aset itu,” Killmus menyela.

“Tidak bisa!” timpal Lee.

Tiba-tiba ponsel Lee berdering. Lalu, hampir bersamaan ponsel Bimo juga berdering.

“Halo kakek Bisma, apa kabar?”

“Kamu di mana?”

“Sedang ada urusan Kek,” sahut Bimo. Untuk urusan ini, dia tak ingin kakeknya cemas, “Oke-oke, aku segera pulang Kek”. Bimo kembali menatap Lee.

Tatap mata Lee mulai kendur. Dia menunduk menghormat.

“Baiklah kalau itu yang Anda kehendaki. Aset pabrik ini bisa menjadi milik para pekerja. Tapi kami ingin jangan asal Anda bagikan, tapi dikelola bersama agar para pekerja memilikinya sebagai modal kerja”.

“Kami akan mengaturnya, kalau Anda mau menyerahkan aset perusahaan,” sahut Killmus, “kami akan membuat manajemen baru, yang terdiri dari para pekerja. Mungkin Bimo bisa membantu urusan manajemen”. Killmus menyeka keringat. Sementara Bimo masih kebingungan. Begitu mudahnya berurusan dengan Lee.

Ketika petang mulai turun. Kerumunan buruh perlahan mulai surut. Mereka mendapat kepastian bahwa besok mereka bisa bekerja kembali. Ada hitam di atas putih soal penyerahan aset pabrik, atas nama para buruh yang diwakili Killmus dan Bimo.

Bimo meninggalkan kerumunan dengan kepala masih penuh tanda Tanya. Siapa Lee dan siapa bosnya.

Foto http://harpymarx.wordpress.com

Kamis, 21 Oktober 2010

Berawal dari Bunyi Klik!

Ini soal perusahaan kecil di bidang grafis. Yang dihuni anak-anak muda dengan kemampuan yang unik. Cita-citanya, Clique dibuat untuk membuat hal-hal inovatif dalam hal desain di Surabaya.

Nama clique dipilih, lantaran bunyi ini selalu mendatangkan sesuatu yang tak terduga. Seorang bocah yang mematahkan as mobil plastiknya bisa berbunyi klik, atau pemicu bom juga melahirkan bunyi klik. Meski sekarang semua bertombol digital, bunyi klik bagiku tetaplah luar biasa.

Nah dalam konteks sosiologi Clique berarti berkumpul, berteman, bermasyarakat. Semoga kami bisa membuat sesuatu yang baru di kota kami.