Rabu, 29 Juni 2011

Bintang Merah (Tua) di Langit Nusantara


Malam menghampar pekat. Langit memeluk bulan pucat dengan awan yang berjalan. Dari atas penthouse, jalanan seperti tak hendak tidur. Lampu-lampu mobil yang berlari, membentuk benang berkilat kuning terang. Dari arah sebaliknya, mobil-mobil membentuk cahaya benang merah. Orkestra lampu yang sibuk. Yang hanya berhenti ketika lampu merah atau ketika berhadapan dengan kerumunan orang yang menyeberang di atas zebra cross.

Di tengah-tengah langit, bintang berwarna merah tua, sendirian berpendar-pendar. Orang-orang Yunani kuno menyebut itulah Apolo, sang dewa perang. Tapi itulah Mars yang sedang mendekat ke bumi. Saat itu dini hari. Yudhistira tak bisa tidur, dia baru saja melakukan ritual, berdoa dengan khusuk, tepat ketika semua orang terlelap.

Nafasnya dia atur, agar suasana hening mampu membuatnya tenang. Surat dari Presiden membuatnya terganggu. Lima tahun lalu, dia membangun bank kecil-kecilan yang sehat. Tiba-tiba Pemilu datang. Kedekatan ayahnya dengan penguasa membuat banknya harus menerima aliran dana ratusan persen dari modal bank. Ini bahaya. Tapi apa boleh buat.

Dengan dana segemuk itu bukannya tanpa masalah. Pencairannya selalu ke hal-hal yang ajaib. rumit. Boro-boro untuk pembangunan, biasanya untuk membiayai penguasaan informasi. Dari bikin riset, sampai bikin media massa dadakan alias abal-abal. Yang dibuat untuk mendukung penguasa dengan segala kebijakannya.

"Hati-hati bang," kata Bima mengingatkan.
"Sulit, aku sulit mengelak. Ini karena hubungan dekat ayah dengan orang-orang istana," kata Yudhistira.

Tiba-tiba peringatan Bima melintas. Seperti bintang jatuh yang membelah malam. Telpon berdering.

"Mas, Aku dengar badan pemberantasan korupsi tengah mengendus pencucian uang yang melibatkan bank kita. Kasus pembunuhan direktur Quantum Finance itu pemicunya," kata staf kepercayaan Yudhistira.

"Aku memprediksi, akan ada pengusutan. Yang muaranya mengusut dana. Pembunuhnya, perkiraanku orang-orang di sekitar istana. Katanya si Mojo, direktur ini ingin menyeberang ke partai lain. Ini membahayakan. Makanya dihabisi."

Yudhistira menyimak dengan sabar. Kalau dulu dia ingin menjadi pengusaha yang jauh dari urusan politik, ternyata tak bisa mengelak. Ini persoalan DNA ayahnya, yang membuatnya terus dilirik penguasa. Toh, tanpa menempel penguasa, Yudhistira sadar, dirinya hanya pengusaha yang bisa suatu waktu harus berhadapan dengan penguasa. Rumit. Bila tidak mendekat berurusan dengan birokrasi memusingkan, sebaliknya juga begitu.

Di atas langit, bintang merah tetap berpendar. Konon, begitu keyakinan orang-orang Yunani, bintang merah yang bersinar terang menandakan chaos di mana-mana. Peperangan, kelaparan, dan wabah seperti disebar rata di muka bumi. Yudhistira tersenyum tenang. Dia tahu cepat atau lambat, semuanya akan menjadi runyam.